06. when you love someone

1.3K 280 46
                                    

There's not much I can do for you except being next to you, I'm sorry.

-

"Lo nggak lupa kan kalau hari ini rapat?"

Gue mengerjap begitu Dila, teman satu organisasi gue memberi tahu di ujung sana.

"Hah..."

"Gue tebak lo baru bangun?"

Gue mengerjap—lagi. Kepala gue bergerak melirik jam dinding dan menemukan jarum jam menunjukkan hampir pukul sebelas siang.

Gila.

Gue menghela napas panjang. "Sori, sori, gue baru balik jam tiga,"

"Hah ngapain—"

"Udah, ini gue siap-siap. Gue matiin."

Helaan napas panjang keluar dari mulut gue. Mata gue beberapa kali mengerjap melihat langit-langit kamar. Dengan pelan, tangan gue bergerak memijat pelan pelipis yang mendadak berdenyut-denyut. Sialan.

Dengan gerakan lambat, gue bangkit dari tidur dan mengembuskan napas sekali lagi. Gue memang pulang jam tiga dan efeknya adalah kepala gue pusing.

Tahu kenapa gue pulang jam tiga? Gue dan Re mengobrol banyak.

Iya, Re yang udah masuk ke rumah itu ternyata diam-diam mendengar pembicaraan gue dan ibunya. Setelah ibu Re masuk, malah ganti Re keluar rumah. Gue tersentak karena kaget, terlebih begitu melihat matanya yang memerah.

"Lo kenapa—"

"Maaf, Bay..." katanya dengan suara pelan. Gue bisa dengan mudah mendengar suaranya yang bergetar. Gue tahu arah pembicaraannya dan gue tersenyum untuk meyakinkan Re kalau nggak apa-apa. Dia nggak salah sama sekali.

"Tapi kesannya gue jahat banget, tau nggak?" katanya, masih dengan nada pelan.

Re menutup wajahnya dengan kedua tangan, tak lama suara isakannya kembali terdengar. Gue tersenyum, pelan-pelan menarik Re ke pelukan gue. Nggak, gue nggak mengambil kesempatan, but I believe hugs make feel everything better.

"Kenapa nangis lagi? Katanya capek nangis?"

Re menggelengkan kepala dan isakannya makin terdengar jelas.

"Nggak apa-apa, nggak ada yang salah," kata gue sambil berusaha menepuk kepalanya pelan.

Re, entah berapa lama ia menangis sampai akhirnya ia melepaskan pelukannya. Gue ikut menghapus air matanya saat Re sibuk menghilangkan air mata yang tersisa dengan jari-jarinya.

"Udah, ya? Katanya capek nangis?"

Re mengangguk dan akhirnya kami saling berdiam diri. Gue dan Re cuma memandang halaman rumah yang terkena cahaya lampu seadanya, suara jangkrik jadi latar belakang keheningan malam saat itu.

Tak berapa lama, Re memecah keheningan dengan mengucapkan maaf yang kesekian kalinya.

Dan gue berkali-kali bilang, nggak ada yang salah di sini.

"Lo paham nggak kenapa banyak orang masih bertahan sama cinta yang jelas-jelas nyakitin dia?"

"Kenapa?"

"When you love someone, you just want to helpful even just a little bit," ujar gue. "Sesederhana dia mau mendengarkan, atau kita bisa jadi tempat curhat dia—it's so beautiful."

Gue menoleh pada Re, tersenyum simpul. "So here I am. I just want to be your resting place."

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

"Lo..." Gue berdeham karena mendadak suara gue tersendat, "lo nggak perlu punya perasaan yang sama..."

"Bay—"

"Cukup jadi temen gue kayak yang biasa, Re,"

Re terdiam. Matanya bergerak gelisah, sementara dahinya berkerut samar. Sekali lagi, gue tersenyum simpul.

"You know... whenever you are having a hard time, or depressed, or you have a lot in mind, it's always okay to come to me and tell me how you feel, 'cause I have ears to listen to," kata gue sambil mengelus puncak kepala Re. "Like I said before, I want to be your resting place."

Re ikut tersenyum, tapi kerutan samar di dahinya nggak hilang sama sekali.

"Kalau gue cerita sama lo, terus lo cerita sama siapa?"

"Ada," kata gue, tersenyum lebar. "Ada Fazrin yang sering jadi tempat curhat gue. Dan lo, kalau lo masih jadi temen gue kayak yang biasa,"

"Kenapa sih lo baik banget?"

"Nggak ada manusia yang sempurna, Re,"

"Iya tapi lo tuh, ya..." Re berdecak, membuat gue ketawa pelan.

"Padahal gue nggak sepeka ini, sebodoh ini karena nggak bisa bales perasaan lo, tapi lo kenapa masih baik sama gue?"

Gue ketawa lagi. "You know... It's so strange when you love someone."

A/N: "Kalau ada apa-apa, cerita aja sama aku."

Kalau mendengar itu dari seseorang, aku selalu punya dua reaksi, (1) lega karena setidaknya ada orang yang mau mendengarkan, dan (2) takut dan bingung untuk memulai cerita.

Tapi aku berusaha bersyukur sama orang-orang yang bilang begitu. Aku berusaha nggak sedih. Orang-orang yang kemarin menguatkan kamu itu, gimana perasaannya kalau tau kamu masih sedih? Mereka pasti bingung juga. Kamu sendiri aja bingung, apalagi orang lain? Aku melewati hari ini tanpa sedih—semoga besok juga. Soalnya kalau aku sedih lagi, aku membayangkan orang-orang yang masih mau mendengarkan dan sayang sama aku. Mereka pasti sedih juga, kan ya? Yah, belum tentu sih, tapi siapa tau?

Dan denger Chan ngomong begitu di vlive kemarin itu, aku nangis. Aku cerita ke salah satu teman kalau aku nangis gara-gara denger Chan dan dia bilang,

"Iya aku paham kok. Kepedulian orang lain ke orang-orang yang merasa bermasalah sama diri sendiri itu emang penting. Entah benar-benar kenal atau tidak, tapi jika ada yang masih mau secara tulus peduli dengan hidup orang lain, itu juga menjadikan kelegaan tersendiri bagi orang-orang yang bermasalah."

Iya, aku nggak kenal Chan, aku cuma tau dia sebatas nama dan dari layar aja. Aku nggak bener-bener kenal sama dia. Tapi aku berterimakasih sama dia karena pernah bilang kayak gitu. Aku dan temanku bilang, "Orang sebaik Chan jangan sampai ada yang nyakitin."

Chan, dia orang yang baik. Aku sayang dia walaupun kita nggak kenal. Kayak kata Bayu—kata lagu ini juga—it's so strange when you love someone.

Intinya apa? Intinya... kalau ada orang yang bilang, "Kalau ada apa-apa, cerita aja sama aku." baik secara langsung atau tidak langsung, baik kenal atau tidak, aku selalu berterimakasih. Untuk siapa pun yang pernah bilang seperti itu sama aku, terima kasih, ya. Terima kasih banyak.

Semoga kita selalu bisa menemukan teman cerita yang baik.

Hurt RoadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang