You knew and I knew that this is not an easy road. It's not that you and I didn't know that not many flowers bloom on this road.
-
Pernah nggak lo bertanya-tanya dengan pilihan yang lo ambil? Gue yakin semua orang pernah melakukannya. Bukan lagi pernah, tapi sering. Iya, kan?
Nggak sekali dua kali gue mempertanyakan setiap keputusan yang gue ambil. Gue kuliah, ikut BEM, ikut organisasi ini itu, ikut kegiatan ini itu, ikut kepanitiaan ini itu, sering membuat gue bertanya-tanya.
Bener nggak pilihan yang gue ambil?
Tapi, terlepas dari benar atau salah, pilihan itu selalu ada risikonya. Lagian, kita nggak pernah tau pilihan itu benar atau salah kalau kita nggak ambil. Pun sebaliknya.
Kalau lo ambil keputusan yang benar, lo bisa tersenyum lega dan bangga di akhir, bahkan hati lo mungkin membatin, gue nggak salah ambil pilihan.
Tapi kalau—merasa—salah ambil keputusan, diri ini pasti menyesal, terus memohon adanya mesin waktu supaya bisa ambil pilihan lain. Ujungnya, kita tetap pada pilihan kita sendiri. Mau gimana pun, mau kita mundur, mau ngeluh-ngeluh, tetap aja itu pilihan kita.
Pada akhirnya, kita tetap nggak tahu jalan yang kita ambil benar atau salah. Kita nggak pernah tahu kalau keputusan yang kita anggap benar itu betulan benar atau nggak. Begitu juga sebaliknya. Siapa yang tahu kalau keputusan yang kita anggap salah ternyata adalah yang terbaik?
Nggak ada yang tahu, termasuk gue.
"Bay, kayaknya kita nggak usah sering-sering ketemu, deh."
Itu kata Re suatu hari saat gue dan Re lagi mampir ke toko buku. Gue yang awalnya terfokus pada buku yang gue pegang menjadi mengalihkan perhatian pada Re. Gue mengerutkan dahi.
"Kenapa?"
"Umm..." Re mengerjapkan mata. "Nggak enak diomongin orang."
"Kenapa lo peduli sama omongan orang lain?"
"Hah?"
Gue menghela napas, mengatakannya sekali lagi, "Kenapa lo peduli sama omongan orang lain?"
Re menatap gue cukup lama, mungkin sedikit kaget karena nada gue tiba-tiba meninggi. "Bukan peduli, tapi gimana ya, Bay, gue muak dengernnya."
"Ya udah, nggak usah didengerin,"
"Nggak segampang itu," Re memejamkan matanya, kemudian mengembuskan napas. "Lo nggak ngerti, Bay..."
"Kalau gitu jelasin biar gue ngerti,"
"Bay..."
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Empat—
"Gue capek dan gue nggak bisa jelasin kenapa. Maaf."
Gue cuma bisa bengong ketika mendengarnya. Re melangkahkan kaki meninggalkan gue yang mematung. Bodohnya, gue nggak mengejar Re saat itu. Gue merasa nggak perlu mengejar Re karena gue dan dia sama-sama emosi. Gue yakin suatu hari kita bisa duduk bareng, ngobrol masalah ini dengan kepala dingin. Sayangnya, berminggu-minggu berlalu dan gue nggak punya kesempatan itu sekali pun. Re menghindari gue. Fazrin bahkan menyebutnya sebagai perang dingin, sementara gue sendiri nggak merasa kalau itu 'perang'.
Sejak saat itu gue mempertanyakan—lagi—keputusan gue sendiri.
Salah nggak kalau gue bilang suka sama Re? Gimana kalau dulu gue nggak bilang? Salah nggak waktu di toko buku gue nggak ngejar dia? Gimana kalau waktu itu gue ngejar dia? Salah nggak—hah, gue nggak paham.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hurt Road
Fanfiction"You knew and I knew, that this is not an easy road. It's not that you and I didn't know, that not many flowers bloom on this road."