Meninggalkan dan ditinggalkan mungkin adalah hal yang lumrah terjadi di dalam setiap kehidupan. Sayangnya tidak semua orang sanggup menjalaninya. Ada yang meratapi kepergian orang tersayang dengan air mata kesedihan tiada henti, ada yang berdiri tegak menghadapi badai besar bernama kenyataan.
Seperti Embun yang dengan langkah tegap dan senyuman tulusnya hadir di pesta pernikahan orang yang pernah memiliki tahta tertinggi di hatinya, atau mungkin masih.
"Selamat ya," ucap Embun dengan pelan. Tangannya terulur untuk menyalami kedua mempelai yang berdiri dengan apiknya di pelaminan.
"Makasih Embun sudah mau datang," ucap Ravindra Mahardika, sang mempelai laki-laki dengan senyum kikuknya sambil menerima juluran tangan Embun.
Embun mengangguk singkat, lantas ia beralih ke mempelai wanita dan bersalaman dalam diam. Kemudian ia turun dari pelaminan dan meninggalkan pesta tersebut tanpa menyentuh hidangan yang disediakan.
Butuh waktu dua bulan untuk berlatih mengucapkan kata tersebut pada hari ini. Ya, sedikit berlebihan memang, tapi Embun harus menguatkan nyalinya yang hampir sirna, dan mengumpulkan pecahan hatinya yang berserakan untuk hadir di pesta pernikahan orang terdekatnya.
Embun melangkahkan kakinya ke ujung gang, dan menemui sahabatnya yang sedang menunggunya. "Butuh perjalanan delapan jam ke Yogyakarta hanya untuk sepuluh menit May?"
Senyuman tulus Embun Humaira memudar, tergantikan dengan ekspresi sedih yang dibalut dengan senyuman miris. "Kalau lama-lama kan kasian lo nunggunya, Gi."
Embun berbohong, kakinya tidak sanggup untuk berdiri di sana lebih lama, perjalanan delapan jam dari stasiun gambir ke stasiun tugu seolah lebih singkat dibandingkan dengan perjalanannya memasuki arena pesta sampai ke pelaminan selama sepuluh menit, detik bagai berjalan terseok-seok, seperti menertawainya yang sedang patah hati.
Argi, sang sahabat hanya berdecak pelan, ia sudah mengingatkan sahabatnya ini untuk tidak datang ke pernikahan laki-laki brengsek bernama Ravindra itu, tapi sifat keras kepala yang dimiliki Embun tidak bisa diluluhkan dengan cara apapun, sehingga ia hanya bisa menemani sang sahabat untuk mengakhiri kisah cintanya yang mengenaskan hari ini, di sini. Di kampung halaman Ravindra dan istrinya.
"Gue pesen go car dulu ya, kita cari tempat makan terus balik ke penginapan buat ganti baju dan langsung ke stasiun."
Embun mengangguk, kini ia akan menutup buku dan membuka halaman baru untuk menuliskan bab selanjutnya.
Di dalam perjalanan pulang penginapan, posel Argi berbunyi. Nama Agung Pratama yang tertera di layar membuat Embun menghela napas.
"Halo Gi?"
Suara Agung terdengar cukup jelas meski tidak di-loudspeaker karena mobil dalam keadaan hening.
"Ya, Gung?"
"Gimana Umay? Udah kondangannya?"
"Udah kok,"
"Lo kasih bonus tonjokan nggak?"
"Ntar gue viral dong gara-gara nonjok laki-laki yang mainin sahabat gue di pelaminan?"
"Biarin aja, siapa suruh ngelukain sahabat gue?"
"Umay nggak ngasih gue masuk, gue disuruh nunggu di luar tadi, dia juga di dalem cuma sepuluh menit, katanya ngasih kado, salaman terus pulang."
"Umay ngado apa sampe harus dianter sendiri tanpa jasa ekspedisi? Bom?"
"Umay cuma mau menunjukkan kalau dia baik-baik aja."
"Udah gue bilang cara dia bodoh, pikiran dia masih berorientasi ke Ravindra, bukan dirinya. Kedatangan dia ke sana nggak bikin dirinya makin baik. Itu cuma buat Ravindra ngerasa lega bahwa Umay baik-baik aja setelah ditinggal dengan cara yang begitu salah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kacamata Kedua
RomanceUntuk kalian yang sedang menyambut hari bahagia tanpa mengetahui cerita lain di baliknya, dari kacamata kedua yang ditinggalkan. Meninggalkan dan ditinggalkan mungkin adalah hal yang lumrah terjadi di dalam setiap kehidupan. Sayangnya tidak semua or...