(KK 5) The Reason

2.5K 662 58
                                    

Siang hari Rianda mengajak Embun untuk makan siang bersama. Ia bilang harus mengungkapkan kepada Embun sesuatu mengenai Ravindra. Pikiran Embun sepanjang hari kosong, menantikan dan mengira-ngira apa yang akan Rianda sampaikan kepadanya. Hatinya menjadi begitu resah.

Begitu jam istirahat datang, Embun segera bergegas pergi ke tempat janjian mereka.

"Aku harap ini bisa membantu kamu Bun," ungkap Rianda dengan senyum getirnya.

"Jadi, apa yang kamu ketahui mengenai Vindra, Ri?"

"Ravindra nggak begitu dekat denganku, tapi sedikit banyak aku tau tentang dia."

Embun mengatupkan bibirnya, menatap Rianda penuh harap, siapa tau yang ia ceritakan menjawab pertanyaan yang selama ini hinggap di benaknya.

"Ravindra pernah bertanya, kalau disuruh memilih yang membuat nyaman dan perhatian, aku akan lebih memilih yang mana." Rianda mengawali ceritanya.

"Jawabanmu?"

"Tentu yang membuat nyaman, dia nggak perhatian aja bisa membuat nyaman gimana kalau perhatian kan?"

Embun mengangguk, menyetujui jawaban yang diberikan Rianda.

"Aku coba cari tau lebih jauh, kenapa Vindra nanya hal itu sama aku. Setelah aku usut lebih jauh, akhirnya Vindra mau cerita,"

"Sosok yang membuatnya nyaman itu kamu, Embun."

Kalau memang dirinya bisa membuat Vindra nyaman, lantas apa yang Vindra pikirkan hingga memilih menikah dengan perempuan lain dan meninggalkannya tanpa kata?

"Vindra bilang ia bisa jadi dirinya sendiri saat sama kamu, seburuk apa pun hari dan mood-nya kalau sama kamu semuanya berubah jadi baik," lanjut Rianda.

Jika kemarin hati Embun tergores, kini hatinya teriris. Fakta yang baru didapatkannya menegaskan bahwa selama ini perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi kenapa rasanya jauh lebih sakit dari jatuh cinta sendirian?

Bibir Embun masih terkatup, berulang kali ia menelan ludah untuk menetralisir tenggorokkannya agar bisa mengeluarkan suara. Namun nihil, ia tak sanggup berkata.

"Vindra bilang, dia sudah pernah mencoba menceritakan tentang kamu ke orangtuanya, dan orangtuanya lebih setuju sama yang sekarang jadi istrinya."

"Jadi istrinya yang adalah orang yang perhatian itu?" Untuk pertamakali Embun mengeluarkan suaranya.

Rianda mengangguk, mengiyakan perkataan Embun. "Aku sempat nanya ke Vindra, kenapa nggak coba kenalin kamu secara langsung sama orangtuanya dulu. Tapi Vindra bilang nggak bisa."

"Alasannya?"

"Entah, Vindra nggak bilang lebih jauh sama aku soal alasannya."

Embun mengangguk, meski sudah terkuak sedikit demi sedikit, nyatanya kalau bukan Vindra langsung yang mengatakan, ia tidak akan menemukan semua jawaban.

"Sabar ya Bun, kamu orang baik, aku yakin akan dapat yang lebih baik dari Vindra. Tuhan itu adil Bun, ia tau mana pasangan yang benar-benar tepat buat kamu."

Sebait kalimat penghiburan yang biasa dilontarkan ketika seseorang sedang patah hati, akan mendapatkan yang lebih baik seolah menjadi sugesti terpenting. Tapi bagi yang menjalani tidaklah semudah itu.

"Di saat Vindra menjelaskan, ia minta tolong sama gue untuk menyampaikan mengenai rencana pernikahannya sama kamu,"

"Kenapa nggak dia sendiri yang bilang langsung Ri, kenapa harus kamu?"

"Karena Vindra takut goyah untuk bertemu atau menjalin komunikasi dengan kamu sebelum dia menikah."

"..."

"Aku sedikit menyayangkan sikap Vindra yang nggak punya pendirian dan terkesan pengecut, dia bahkan nggak berusaha untuk memperjuangkan kamu ke orangtuanya."

"Restu adalah elemen penting dalam membangun kehidupan rumah tangga, Ri."

"I know that! Aku sama suami gue juga sempat nggak direstui orangtua kami. Tapi suami aku membuktikan ke orangtuanya kalau pilihannya memang benar-benar tepat."

"Mungkin aku nggak seberharga itu untuk diperjuangkan Vindra," timpal Embun getir.

"Embun, please... kamu wanita baik-baik, sangat pantas untuk diperjuangkan. Ada yang salah di sini, entah apa. Vindra itu kayak labirin yang semakin kamu telusuri semakin tersesat di dalamnya."

***

Embun menertawai bayangan dirinya di cermin. Selama ini Vindra menganggapnya apa? Dua tahun kebersamaan mereka dengan status yang tidak jelas, membuat lelaki lain enggan mendekati Embun karena Vindra seolah menutup segala akses bagi laki-laki mana pun untuk mendekat dan berakhir ditinggalkan tanpa kejelasan dengan alasan lelaki itu takut goyah menjelang hari pernikahannya?

Embun merasa dipermainkan. Hatinya benar-benar terluka. Ia tak lagi dapat menyembunyikan isak dengan baik sehingga ibu yang melewati kamarnya mendengar tangisan putrinya yang membuat batinnya menjerit pilu.

Ibu membuka pintu kamar dengan hati-hati, dan menemukan sosok Embun yang sedang menangis di kasurnya. Langkah ibu terhenti saat di hadapan Embun, tangannya terulur untuk mengapai tangan Embun dan mengusapnya dengan pelan. "Sini, curhat yuk sama Ibu."

Embun menghambur ke pelukan ibunya, dan mendekapnya dengan erat. Ia bingung bagaimana menceritakan segalanya kepada ibunya, karena Embun tau ibunya akan jauh lebih terluka dari Embun.

"Ada apa? Cerita sama Ibu," ucap ibu dengan linangan air mata. Hatinya sakit melihat putri satu-satunya yang ia jaga dan lindungi dengan segenap hati harus tersakiti seperti ini.

Embun menggeleng pelan. "Capek Bu, di kantor lagi banyak masalah," bohongnya. Ia tidak ingin bercerita sebelum mengetahui secara pasti, nanti jatuhnya malah menjelek-jelekkan Ravindra.

"Ibu boleh tanya?" ibu bertanya seraya mengusap pundak Embun dengan sayang. Embun menganggukkan kepalanya mengiyakan. "Kenapa kamu baru ngasih tau Ibu sama Ayah setelah Vindra nikah?"

"Karena Embun tau Ayah dan Ibu udah terlanjur berharap banyak sama Vindra. Embun nggak mau Ayah dan Ibu sakit hati."

"Nak, kamu tau apa doa ibu untuk kamu dan Vindra?" tanya ibu yang membuat Embun menghentikan tangisannya.

Embun melepaskan pelukannya dan melihat wajah ibunya yang selalu membuat hatinya teduh. "Jika Vindra memang yang tebaik untukmu, dekatkanlah. Jika tidak, jauhkanlah. Ibu rasa doa ibu sama Allah sudah terjawab sekarang."

"Ibu akui Ibu sakit saat tau faktanya, terlebih Ayah sudah berharap terlalu banyak sama Vindra. Tapi Ibu akan coba beri pengertian ke Ayah kalau ini memang bagian dari perjalanan hidupmu. Kita semua pasti bertemu dengan orang yang salah dulu sebelum bertemu dengan jodoh, bukan?"

Embun mengangguk, mengiyakan perkataan sang ibu.

"Nggak ada yang perlu disesali, waktu pasti akan menjawab semua alasan mengapa Allah nggak mengirimkan Vindra sebagai jodoh kamu."

Kacamata KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang