Sesuai dengan perjanjian, akhir minggu ini Argi dan Agung bersedia untuk mentraktir Embun di salah satu restoran all you can eat yang ada di sebuah mall di dekat tempat tinggal mereka. Sebetulnya Embun yakin ada hal lain yang perlu dibahas di dalam acara traktiran ini, karena Embun sedikit banyak sudah mendengarnya dari Ilana.
Mereka dipertemukan di salah satu tempat les saat kelas tiga SMA, perjuangan menempuh SBMPTN yang menghabiskan banyak waktu, tenaga dan air mata membuat ketiganya menjadi dekat dan menjalin persahabatan hingga saat ini, meski mereka berbeda kelas.
"Jadi bokap nyokap udah tau May?" tanya Argi setelah Embun menyelesaikan ceritanya mengenai percakapan dengan kedua orangtuanya semalam.
"Iya, soalnya bokap keliatan masih berharap banget sama Vindra, daripada mereka jauh lebih sakit nantinya."
"Terus respon mereka gimana?" tanya Agung.
Embun menghela napas. Tatapan terluka yang menggelayuti wajah sang ibu tak bisa Embun lupakan dalam waktu singkat. "Mereka kecewa."
"Jelas lah itu mah! Maksud gue nggak ada omongan apa gitu dari nyokap bokap lo?" Agung memperdalam pertanyaannya.
Embun menggeleng. "Mereka terlalu terkejut untuk bertanya lebih jauh, Gung."
Hanya itu kesimpulan yang Embun dapatkan. Ia yakin kedua orangtuanya akan menanyakan lebih jauh mengenai hal ini, mungkin mereka belum siap.
"Syok sih pasti, orang anaknya selama ini ke rumah lo udah bagaikan calon mantu, nggak malu-malu ikut makan bareng keluarga, bahkan ketemu keluarga besar lo waktu kakak sepupu lo nikah. Brengsek banget si Vindra." Komentar Agung hanya dibalas sunggingan oleh Embun. Ya, mungkin neneknya pun akan terkejut jika mengetahui fakta ini. Karena keluarga besarnya telah mengenal Ravindra.
"Ilana gimana Gung?" Embun bertanya, mencoba memancing agar sahabatnya itu bercerita.
Emosi Agung yang meluap-luap saat membahas Ravindra mendadak padam. Bibirnya terkatup rapat. Sumpit yang tadi digenggamnya digeletakkan begitu saja.
"Menurut kalian gue jahat nggak kalau mundur sekarang?"
Embun dan Argi saling bertatapan, keduanya mengetahui dengan pasti apa yang dimaksud Agung. "Lo mau gue menilai secara objektif atau subjektif?" tanya Embun.
"Objektif, nilai dari sisi lo sebagai perempuan juga May," pinta Agung lugas, sementara Argi masih menyimak dalam keheningan.
"Nggak jahat kalau lo mundur dengan kejelasan."
"Kejelasan seperti apa?"
"Alasan lo untuk mundur, beberkan semuanya," timpal Embun.
Argi mengangguk menyetujui. "Gue rasa Ilana berhak tau alasan lo, dan mungkin lo bisa menawarkan jalan tengah."
"Jalan tengah seperti?"
"Menunda sampai beberapa saat mungkin? Setahun, dua tahun?" usul Embun yang disepakati Argi.
"Yang jelas harus ada omongan Gung, Jangan pergi gitu aja tanpa kejelasan," nasihat Argi.
"Setelah semua yang dialami Umay lo pikir gue akan pergi tanpa berita kayak si pengecut Vindra? Nggak akan."
"Bagus!" sahut Argi.
"Gue punya satu permintaan sama kalian," ucap Embun yang membuat kedua sahabatnya menaruh atensi penuh.
"Apa itu May?"
"Kalau belum atau bahkan nggak ada niat untuk serius, jangan terlalu masuk ke dalam kehidupan keluarga pasangan kalian. Luka pasangan kalian mungkin bisa disembuhkan dengan orang baru di saat kalian pergi, tapi nggak dengan kedua keluarganya. Kalau kalian malah dijadikan pembanding saat orang baru datang oleh kedua orangtuanya, kalian akan menyusahkan lebih banyak orang lagi."
"Orangtua lo ngebanding-bandingin Vindra emang sama orang baru?" tanya Agung bingung, pasalnya Embun terlihat belum move on sama sekali dari Vindra. Bagaimana mau dekat dengan lelaki lain?
"Itu yang gue takutkan, Gung. Vindra sosok menantu idaman tanpa cela buat Ayah."
"Tapi kan dia udah nyakitin lo May?" alis Argi berkerut bingung.
Embun mengangkat bahunya. Entah mengapa kekhawatiran itu melekat begitu besar dalam benaknya. Membuat perasaannya tidak enak setiap mengingatnya.
"Jangan menutup hati untuk orang baru Umay. Memang semua pasti butuh waktu dan proses, tapi lo juga harus bangkit dari keterpurukan ini." Argi menyemangati.
Agung menghela napas panjang. "Meski belum seintens Vindra, gue juga udah mengenal orangtua Ilana."
"Ungkapin aja secara gentle tentang planning hidup lo ke Ilana, nanti dia pasti bantu ngomong sama orangtuanya. Kalau lo udah mengkomunikasikan menurut gue lo nggak salah, tapi resiko terbesar yang lo harus hadapi adalah kehilangan Ilana." Embun mengeluarkan pendapatnya.
"Dalam kehidupan kita harus memilih Gung, nggak bisa mendapatkan dua-duanya dalam satu waktu. Mungkin bisa, tapi prosesnya lebih lama karena lo nggak akan fokus," tegas Argi.
Agung merenung dalam diam. Pembicaraan dengan topik penuh omong kosong tak lagi kami lakukan di usia dewasa ini. Jodoh, perkembangan karir, rencana masa depan, pencarian jati diri, passion, bertukar sudut pandang mengenai suatu hal kini menjadi topik pembicaraan setiap pertemuan.
***
Embun menaiki KRL pagi ini. Monster day sudah datang menyerang para pekerja seperti dirinya. Senin selalu identik dengan kesibukan yang lebih padat dari biasanya. Katanya orang-orang yang berumahtangga dan mempunyai pasangan di luar kota baru akan kembali di hari Senin, hingga aktivitas Ibukota akan melonjak dibandingkan dengan hari biasa.
Jalanan Jakarta yang menghubungkan kota-kota di sekitarnya dengan Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta di Tangerang tempat orang-orang datang dan pergi untuk mengais rejeki di perantauan menjadi lebih padat. Sehingga Embun lebih memilih menaiki alat transportasi masal meski dengan resiko berdiri sampai tempat tujuan.
Embun sengaja memilih gerbong khusus perempuan karena ia merasa lebih nyaman. Jika tidak berpergian bersama teman laki-lakinya, Embun tidak berani mengisi gerbong umum, karena cukup rishi.
Pintu kereta yang terbuka membuat orang berhambur ke luar dan pada menit berikutnya orang-orang kembali memenuhi gerbong.
"Embun?"
"Rianda?" sapa Embun begitu melihat sosok Rianda memasuki gerbong. Keadaannya yang sedang berbadan dua membuat Embun dengan sigap membantu Rianda untuk duduk di kursi dengan meminta salah satu penumpang yang bukan prioritas. Rianda mengucapkan rasa terimakasihnya dengan senyuman.
Rianda melihat sosok Embun yang penuh ketulusan, hatinya mendadak bergemuruh saat mengingat ia sudah menyembunyikan separuh fakta yang ia ketahui mengenai pernikahan Ravindra kepada Embun.
Embun membantu Rianda untuk menuruni gerbong sampai ke luar stasiun, ia berjalan pelan mengikuti tempo langkah Rianda yang tak selincah dulu. Perutnya yang sudah membesar membuat aktivitasnya sedikit terhambat.
"Embun, ada sesuatu yang harus aku sampaikan," ucap Rianda yang membuat langkah Embun terhenti.
"Apa Ri?"
"Sebenarnya... Vindra yang nyuruh aku ngomong sama kamu mengenai rencana pernikahannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kacamata Kedua
RomanceUntuk kalian yang sedang menyambut hari bahagia tanpa mengetahui cerita lain di baliknya, dari kacamata kedua yang ditinggalkan. Meninggalkan dan ditinggalkan mungkin adalah hal yang lumrah terjadi di dalam setiap kehidupan. Sayangnya tidak semua or...