(KK 8) Introduction

2.7K 586 39
                                    

Kabar duka datang dari keluarga ayah Embun, sang bude yang berdomisili di Surabaya menghembuskan napas terakhirnya pagi ini. Embun yang sudah sampai kantor saat mendengar kabar itu tentu saja cukup terkejut, pasalnya sang bude tidak mengeluhkan sakit apa pun sebelumnya.

Kedua orangtua Embun mengambil penerbangan siang hari, sedangkan Embun akan melakukan penerbangan pada sore harinya. Ayah telah mengurus tiket miliknya yang dititipkan ke Rifai, tetangganya yang bekerja sebagai Avsec di Bandara Internasional Soekarno Hatta.

Embun sampai di Bandara satu jam sebelum boarding, untungnya Rifai membantu proses check in yang seharusnya ia lakukan maksimal sembilan puluh menit sebelum keberangkatan. Lalu lintas jumat sore sama sekali tidak bersahabat untuk orang yang mengejar pesawat seperti dirinya.

Awan kelabu yang menggantung di langit membuat kekhawatiran di dalam diri Embun muncul, ia tidak suka terbang, apalagi di dalam cuaca buruk. Semenjak mendiang suami dari kakak sepupunya harus menghembuskan napas terakhir dalam sebuah kecelakaan pesawat yang menghilangkan nyawa 189 penumpang dan awak kabin saat perjalanannya untuk bekerja ke Pangkal Pinang, pandangan Embun saat menaiki burung besi mulai berubah. Oleh karenanya jika tidak dalam keadaan mendesak, Embun akan mencari alternatif transportasi lain, seperti kereta misalnya yang kini menjadi alat transportasi favoritnya.

Embun melirik ke arah runaway yang cukup padat. Akhir pekan dipenuhi oleh orang-orang yang ingin kembali ke pelukan keluarga tercinta di kampung halaman, liburan, atau mungkin juga ada yang memiliki keperluan mendesak seperti dirinya. Embun harap mereka semua dapat mencapai tujuan dengan selamat.

Embun tahu bahwa kata-kata safe flight yang dilontarkan bukan hanyalah ungkapan klise saat kerabat kita menaiki burung besi ke angkasa. Saat melihat kakak sepupunya yang sedang hamil bersama anaknya yang berusia tiga tahun menangis histeris begitu mendapat kabar buruk itu, Embun sadar betapa dalamnya makna kalimat itu. Ungkapan itu bagaikan doa sekaligus harapan yang dihaturkan agar orang-orang yang dicintai dapat kembali dengan selamat sentosa, tanpa kurang satu apa pun dalam perjalanannya.

Panggilan penumpang untuk segera memasuki pesawat membuat Embun bangkit dan segera beranjak. Ia menggenggam boarding pass-nya dan memastikan nomor kursi tempat ia duduk. Tentunya Embun tidak ingin salah duduk dan memancing perhatian di jam padat seperti ini. 15C adalah rentetan huruf dan angka yang menunjukkan tempat duduknya. Setelah mengencangkan sabuk keselamatan, Embun menghela napas panjang. Tangannya merogoh tas untuk mengambil minyak angin yang bisa melemaskan sedikit ketegangan di otot lehernya setiap pesawat akan take off, namun ia tidak menemukannya.

Embun pun merogoh tasnya lebih dalam dan mencari di setiap sudutnya guna memastikan, hasilnya tetap nihil. Pikiran Embun pun melayang, kembali mengingat di mana ia terakhir meletakan minyak angin itu. Sesaat sebelum berangkat Embun menukar tas kerjanya dengan tas yang berukuran lebih kecil dan hanya memindahkan dompet dan juga charger ponsel saja tanpa membawa minyak angin andalannya.

Kapanikan pun melanda, Embun mengambil beberapa permen yang ditawarkan pramugari sebelum take off, berharap permen-permen itu setidaknya mengalihkan kepanikannya. Embun mengambil airsickness bag yang disediakan dan menggenggamnya. Pengalaman turbulensi hebat di penerbangan terakhirnya enam bulan lalu masih melekat dengan jelas. Embun benar-benar takut.

"Mbak? Anda baik-baik saja?"

Seorang pria yang duduk di sampingnya mulai menyadari kegelisahan Embun. Embun mengangguk kikuk, tapi ekspresinya tidak dapat ditutupi. Wajahnya yang pias dan berkeringat dingin membuat si pria menatap iba.

"Saya nggak punya minyak angin, tapi mungkin ini bisa membantu," ujar pria itu sambal mengeluarkan seuah botol minyak telon khusus bayi yang membuat Embun tertegun.

Kacamata KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang