Bab 3 Puncak Kerinduan

12 0 1
                                    

Akhirnya setelah perjalanan yang melelahkan, dengan berbagai tantangan yang dihadapi aku dan tim untuk sampai puncak, meski sebelumnya kami harus melewati medan terjal, jalanannya yang licin, bahkan melewati ketinggian yang curam. Itu tantangan bagiku melewati setiap medan sebagai standing applaus ketika aku bisa menguji diriku sendiri di antara alam. Berusaha menyatu dengan alam.

Aku dan tim memasang tenda, ada banyak pendaki lain yang sudah ada di atas puncak. Tim kami segera memasang tenda dan membuat api untuk menghangatkan tubuh dan memasak makanan.

Selama memasak dan menghangatkan tubuh, di selingi dengan canda tawa, suara menyanyi yang kadang fals dan cempreng dengan alat musik seadanya di temani hembusan angin yang makin menusuk sampai ketulang tak menyurutkan semangat kami untuk terus bernyanyi.

Setelah menikmati santap malam kami semua, aku dan sebagian yang lain menikmati kopi panas untuk menghangatkan tubuh. Sebagian sudah ada yang tertidur dan yang lainnya masih terjaga, masih bercakap-cakap. Sedangkan aku masih duduk menjauh dari mereka. Menikmati kopiku sendiri, rasanya sangat nyaman berada di alam untuk yang ke sekian kalinya. Menyatu dengan alam, mendengarkan semilir angin malam. Nyanyian alam yang menusuk tulang dengan dinginnya malam, ini yang selalu ku rindukan. Jauh dari hiruk pikuk polusi kota, kebisingan kota. Di antara sandiwara dunia yang memiliki topeng kepalsuan.

Hemmm.. terdengar seseorang yang berdeham di dekatku.
Aku menoleh dan melihatnya, ternyata sosok laki-laki tinggi dengan rambut pendek. Hanya itu yang terlihat di antara remang-remang cahaya rembulan dan api yang terbias cahayanya ke arahku.
"Aku boleh duduk?"tanpa meminta persetujuanku yang kini duduk di sampingku.
"Iya"balasku merasa risih.
"Kenapa jauh dari teman-temanmu?"dengan tatapan tajam menyelidik.
"Tidak apa-apa, hanya ingin menyendiri. Menikmati alam"ucapku menatap lurus memeng gelas minumanku.
"Aku Nata Rediansyah"mengulurkan tangannya kepadaku.
"Ayu Adinda Safitri"membalas jabatan tangannya.
"Kamu hobi mendaki atau hanya sekedar ingin mencoba mendaki?"menatap lurus ke depan.
"Aku hobi mendaki. Sudah 3 tahun yang lalu"masih cuek dan tidak terlalu fokus dengannya.
"Mengapa hobi dengan mendaki? Banyak hobi lain yang bisa di lakukan seorang perempuan, bahkan hanya segelintir perempuan termasuk dirimu yang hobi dengan mendaki yang bisa dikatakan ekstrim dan hanya laki-laki yang banyak menyukai hobi seperti ini"kini menatap lekat padaku.
"Aku hanya perempuan biasa seperti biasanya, hobiku mendaki karena aku suka menyatu dengan alam. Jauh dari hiruk pikuk kota, banyak hal yang ku temukan dari mendaki termasuk mengagumi ciptaan Sang Pencipta Alam Semesta. Selama itu tidak menganggu atau merugikan orang lain maka aku akan terus melakukannnya"membalas tatapannya.
"Ok, thanks udah menemaniku ngobrol malam ini. Istirahatlah, biar nanti subuh kamu bisa bangun cepat untuk liat sunrise. Sampai jumpa yah"tersenyum dan berlalu dariku.
"Iya, no problem"balasku tersenyum seramah mungkin padanya.

Setelah ia berlalu dariku, ternyata dia orangnya ramah, dan tidak seaneh yang ku pikirkan tadi karena dia orang asing yang tiba-tiba muncul didekatku.

Aku segera menghabiskan kopiku yang hampir dingin, lalu bangkit menuju ke tendaku. Di dekat api yang masih menyala ternyata masih ada abang-abang yang belum tidur.
"Kenapa belum tidur bang?"seraya duduk di antara mereka.
"Belum ngantuk Dind"bang Andi yang masih merokok.
"Kalau udah ngantuk, tidur gih Dind. Ntar telat loh bangunnya, ngak bisa ngeliat sunrise"kini bang Rio ikut bicara.
"Oke deh bang, aku duluan yah. Abang-abang juga tidur gih, ntar malah abang-abang yang telat bangun ngak ngeliat sunrise"tergelak menggoda abang-abang itu, mereka sudah seperti kakakku sendiri. Diantara mereka aku merasa punya keluarga diantara alam yang sudah ku raba keindahannya.

Aku menyamankan diriku didalam tenda. Disamping kak Winda yang sudah tidur pulas, mungkin kelelahan.

Satu detik, dua detik dan beberapa detik kemudian aku tertidur. Memberikan charge tenaga untuk kembali melihat bentangan alam di gunung dengan jelas di esok hari.

Jam 4 subuh aku di bangunkan abang-abang untuk bersiap-siap melihat sunrise, aku segera bergegas duduk dan mengambil spot terbaik bagiku untuk bisa melihat sang surya menampakkan cahaya keemasannya, detik demi detik berganti menjadi menit dan menit terus berganti menit, menit selanjutnya. Muncul cahaya berpendar, memang belum sepenuhnya matahari muncul. Terus menunggu, hanya itu yang aku lakukan bersama para pendaki lainnya. Akhirnya setelah perjuangan menunggu sekian lama, cahaya matahari muncul di balik pengunungan, mulai menghilangkan kabut tipis. Lama kelamaan makin terlihat jelas, aku segera mengeluarkan handphoneku. Mengabadikan matahari terbit. Tiba-tiba di antara keasyikanku mengabadikan diri, ada suara jepretan kamera. Aku berbalik
Senyum hangat, mata dengan tatapan teduh di balik tatapan mata tajam. Bola mata bulat coklat bening serta lesung pipi di antara wajah tegas namun bersahaja.
"Thanks yah udah jadi objek fotoku"ucap sosok itu kini duduk disampingku.
"Aku masih terdiam"masih terpesona dengannya.
Dia masih tersenyum padaku.
"Hei, hei nona.. kamu baik-baik saja?"melambaikan tangan di depanku.
"Ah, ng.. ngak.. aa pa pa-apa"aku terbata-bata. Kembali menguasai diriku senormal mungkin, agar tidak ketahuan olehnya.

Dia tersenyum menatapku lekat.
"Coba lihat hasil foto kamu, natural bangetkan. Seperti kamu sangat bahagia tanpa melihat matahari terbit"fokus pada kameranya.
Aku menoleh ke arahnya dan melihat apa yang ada di kameranya.
Sungguh aku pun sama dengan pemikirannya, padahal itu diriku sendiri.
"Kamu kenapa diam? Bukankah kita sudah berkenalan tadi malam. Apa kamu lupa denganku?"menatapku dengan tatapan menyelidik.
"Ah, ngak. Aku ingat kok"sambil nyengir. Pura-pura ingat padahal aku sendiri tidak terlalu mengingat seperti apa wajahnya tadi malam karena hanya bermodalkan bias cahaya rembulan dan api unggun jadi wajar kalau aki tidak ingat padanya kan? Merutuki diriku sendiri.
"Lalu dimana aku akan mengirimkan foto-foto ini?"kini bertanya dengan tatapan menyelidik seolah menusuk langsung ke hatiku.
"Hah?"aku kaget. Melongo menatapnya.
"Jangan menatapku seperti itu nona kecil. Aku tidak mungkin kan menyimpan fotomu terus kan? Kalau aku harus menghapusnya saat ini juga, rasanya sayang deh. Ini terlalu cantik bagiku, lalu dimana aku bisa mengirimkannya?"menatapku bingung.
"Hmm.. sebentar yah"aku segera merogoh saku celanaku, kebiasaanku selalu membawa buku kecil dan sebuah bolpoin.
Aku menuliskan alamat kostku di atas secarik kertas lalu merobeknya.
"Ini. Kirim ke alamat ini saja"menyodorkan secarik kertas padanya.
"Baiklah. Thanks yah"tersenyum padaku.
Tiba-tiba sebuah tangan kokoh merebut buku kecil milikku.
"Hei. Mau diapakan bukuku?"ucapku kaget melihat tingkahnya.
Ia tidak menjawab, hanya menuliskan sesuatu. Lalu menutup kembali dan memberikannya padaku.
Aku tidak memeriksa apa yang tertulis di bukuku, hanya segera menyimpannya di dalam saku celanaku.
"Hei, nona kecil liat ke arah sini"memanggilku.
Aku menoleh dan klik...
Aku baru tersadar, secara tak sengaja aku berfoto berdua dengannya dan saat itu aku tersenyum.
"Baiklah sampai jumpa nona kecil. Hari ini aku dan teman-temanku akan turun, sampai jumpa di lain waktu"dengan senyum merekah menatapku lekat.
"Iya, sampai jumpa. Hati-hati yah"balasku tersenyum sebaik mungkin padanya.
Dia bangkit dan berjalan menjauhiku.

Aku hanya bisa menatap punggungnya yang tegap yang berjalan semakin jauh dariku.

Setelah kepergiannya, aku masih menikmati hangatnya matahari yang menerpa wajahku. Meski masih terasa dinginnya pegunungan yang masih terlihat sedikit kabut tipisnya.

"Hei, aku melupakan sesuatu nona kecil"suara yang tidak asing bagiku.
Aku menoleh dan ternyata dia muncul lagi.
"Ada apa?"dahiku berkerut bingung menatapnya.
"Ini"sambil berjongkok dan memakaikan syal berwarna biru tua.
Aku masih terdiam, mencoba meresapi apa yang baru saja terjadi.
Namun saat aku tersadar, dia sudah melangkah pergi secepat mungkin.
"Hei, terima kasih tuan tinggi"berusaha berteriak agar ia mendengarnya.
Dia tidak berbalik hanya mengacungkan jempol ke atas.

Hari itu juga setelah agak siang aku bersama tim juga turun. Karena kami tidak bisa berlama-lama, hal lain yang harus kami jalani sebagaian kehidupan kami.

Mountain Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang