Yuki dan Telaga Jaeyu

25 7 2
                                    

Jaden POV

Sekolah sudah mencapai setengah dari waktu hari ini. Aku harus bersiap menjemput Yuki di ruang seni. Kuambilkan seabrek stuff  miliknya yang selalu berhasil membuatku kifosis, lordosis, bahkan skoliosis secara bersamaan karena saking beratnya.

"Hai Tuan Hamingway yang terhormaat.. kau akan menjemput majikanmu? Nona Nagawa yang mulia?" Cibir Ashley Gung dibelakangku, diikuti cekikikan teman-temannya.

Mereka memang sangat membenci hubunganku dengan Yuki. Entah karena Ashley menyukaiku atau apalah. Tapi Yuki selalu memintaku untuk menganggap Ashley sangat menyukaiku sehingga ia cemburu akan kedekatanku dengan Yuki.

Hap! Satu anak tangga terakhir!

Kuintip dari balik jendela kaca ruang seni. Nampak seorang Yuki dengan biolanya, sedang bergelut mengharmonisasikan nada-nada. Sungguh indah. Selalu begitu.

Kunikmati alunan Canon, by Congfei Wei hasil kerjasama Yuki dengan biolanya. Sampai-sampai aku tak sadar ada seorang wanita tinggi besar tengah menatapku sambil berkacak pinggang.

"Kau sedang menunggu sohibmu, Tuan?" Tuntutnya, yang memang sudah sangat mengerti kebiasaanku sepulang sekolah.

"Ya, Ma'am." Jawabku seadanya.

"Masuklah. Disini dingin."

Aku masuk sesuai pintanya.

Mrs. Ganghan adalah sosok coklat lumer dalam balutan pai gosong yang keras. Kuharap hanya aku dan Yuki yang mengetahui fakta dibalik Mrs. Ganghan. Karena kalau sampai mereka tahu sisi coklat lumer Mrs. Ganghan, pasti takkan ada lagi guru yang mereka takuti di sekolah ini.

Aku masuk ke dalam ruang tempat Yuki kini melirik sedikit ke arahku. Dia tersenyum, membuatku bahagia seketika.

***

Selesainya jam seni Yuki, aku berencana mengajaknya membeli es krim disebuah kedai baru milik paman Tomlinson. Tapi Yuki menolak, dan malah mengajakku ke suatu tempat, begitu ia menyebutnya.

"Kau mau mambawaku kemana Yuki?" Tanyaku mengikuti gadis itu dari belakang.

Sekarang kami sesang menyusur ladang ilalang. Musim gugur seperti ini, saat paling indah untuk mendatangi ladang ilalang, melihat dandelion tertiup angin, atau membuat piknik di tengah ladang ilalang. Tapi tidak satupun ideku yang Yuki gubris apalagi lakukan sekarang ini. Ia malah berjalan setengah berlari tanpa melihatku yang tengah kewalahan mengimbangi langkahnya.

Yuki berhenti. Akupun begitu.
Kami berhenti. Bukan, lebih tepatnya aku terhenti. Terhenti oleh indahnya keindahan yang disajikan Tuhan dihadapanku dan Yuki. Sebuah telaga yang terhampar indah dibalik ayunan para ilalang.
Sejenak aku melihat ke arah Yuki yang nampak biasa saja, ditengah terpaan angin yang menyambut rambut hitamnya.

"Berhentilah memandangku seperti buronan, Jade." Katanya dengan tingkat percaya diri diatas wajar. Pantas saja dia tidak punya teman selain aku.

"Rambutmu tidak diikat, dan nampak sangat mengganggu. Membuatku ingin mengikatnya." Jawabku.

"Aku lupa membawa ikat rambut tadi pagi. Sudah terlambat."

Aku berpikir mencari sesuatu yang tepat untuk mengikat rambut Yuki. Saat ini di dalam ranselku ada satu gulung besar tali tambang untuk keperluan Scout.
Oh! Betapa mengerikannya membayangkan Yuki dengan ikat rambut sebesar itu dikepalanya.

Aku menemukan sesuatu yang tepat.
Tangkai ilalang.

"Menghadap ke arah telaga!" Perintahku yang langsung dipenuhi oleh Yuki.

"Kau sudah menemukan sesuatu untuk mengikat rambutku?" Tanyanya.

"Tentu."

Kuikat rambut Yuki sebagaimana biasanya. Meski sedikit menjahilinya dengan menjambak-jambak kecil rambut sepunggung itu.

"Sudah?" Tanya Yuki setelah memastikan bahwa tanganku sudah tidak lagi bergerak disekitar kepalanya.

"Omong-omong, siapa yang memberitahumu tempat ini?" Tanyaku yang masih belum lepas memandangi sehamparan telaga indah berair jernih, sejernih mata Yuki.

"Aku membacanya disebuah peta topografi di perpustakaan tadi." Jawabnya.
Ya, Yuki memiliki kemampuan visual spasial tinggi. Dia bahkan tidak butuh waktu lama untuk memahami sebuah garis kontur peta yang di tampilkan.

"Apa nama telaga ini?" Tanyaku.

"Aku tidak tahu." Jawab Yuki, sembari mengangkat tendah bahunya.

"Bagaimana bisa?"

"Karena akulah yang akan memberinya nama."

"Dasar. Pemerintah akan mengusirmu kalau kau sampai asal-asalan."

"Biar kita saja yang tahu, Jade. Jadi? Mari kita beri sia nama."

"Bagaimana memberi nama pada sebuah telaga, kecuali dengan nama tempatnya?"

"Agh! Mainkan imajinasimu, Jade!"

"Baiklah, imaginer!"

"Bagaimana kalau... JY?"

"Apa itu?"

"Jaden Yuki."

"Kita sudah menggunakan nama itu pada terlalu banyak benda milik kita, Yuki."

"Baiklah baiklah. Lalu apa?"

"Fridayship Lake."

"Terlalu baku."

"Free Lake?"

"Mmm... Jaeyu. Fix! Jaeyu! Haha"

"Melenceng jauh sekali dari rencana." Gumamku.

Tapi siapapun tahu kalau Yuki sudah seperti itu, tandanya sudah mutlak. Tak bisa dielak. Sudah kuduga, peranku takkan penting bila sudah dalam hal seperti ini. Yukilah yang mendominasi.

Tapi setidaknya, ia tersenyum.
Gadis itu..
Yuki yang delapan tahun silam menjadi bagian keluarga Hamingway, meski aku tak pernah menganggapnya keluarga.
Yuki memang bukan keluargaku.
Dia... sahabatku.
Kemarin, hari ini, dan esok.
Walau aku sedikit cemburu melihatnya memiliki Jaeyu.
Karena Jaeyulah yang sekarang menjadi alasannya tersenyum.
Bukan aku.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 05, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Goodbye CloseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang