paragraf paling entah.

681 48 14
                                    

 
   sebenarnya aku sudah tau resikonya. mengambil jalur itu. terasa lebih nyaman. dan yang nyaman memang berujung menyakitkan bukan?.

   kota M memanggilku, beberapa manusia ingin bertemu disana. bercakap dan berbicara banyak hal tentang apa yang banyak manusia lakukan sekarang. aku berangkat dari kota J.
 
  melawati tetangga kotamu, yang dimana kotamu hanya bisa kuhampiri dengan segerbong kereta, celakanya lagi itu kereta senja, novemberku.

lima hari di kota M, aku memutuskan pulang. tidak ada hati yang tertinggal tentunya karena rasa rasa seperti itu sudah jauh tanggal sebelum kau dan aku meninggal.
  
    " sudah, jika kau ingin menyelematkan perasaanmu, jangan naik kereta, kami antar saja, kasihan hatimu, pasti akan begitu tersiksa disana "

   seorang kawan terbaikku menganjurkan, menahan. empat malam aku tidur di rumahnya. berbagi apa saja dalam rencana. juga tentang cerita cinta masing masing yang sama sama kandas.

  " tidak, besok aku sudah kuliah lagi, aku harus kembali meski yang kubangan kenangan akan mengalir di sepanjang rel kereta yang akan kulewati nanti "

   kami resmi berpisah, di stasiun. dan ya tuhan, aku benar benar mengambil keputusan ini. kuatkah kau? janji ya jangan menangis? kau sudah diperingatkan untuk tidak melakukan, tapi kau saja yang meneruskan.

  " iya, aku kuat, aku tak akan tersesat "

   ucapku kepada diri sendiri sembari mencetak boarding pass. jalur dan tujuan tetap sama. meski kau tau? hati kecilku berharap semua berubah. tiba tiba saja kau menepukku dari belakang dan bilang untuk tidak jadi menikah, calon suamimu ditikam harimau.

  begitu, tapi kulihat kebelakang dan kau tetap tak ada. sekumpulan manusia manusia dengan kalimat perpisahan masih sibuk berpamitan.
 
  setengah jam, keretaku datang. Dari kota M, menuju kota J. dan akan berhenti agak lama di kota B, kotamu, kota yang pernah berisi kita. dengan seluruh kesiapan mental, aku menaikinya diantara ramainya kerumunan manusia, gerbong berbaris dengan ditarik lokomotif, aku berasumsi bahwa kereta api adalah transportasi yang romantis. tanpa alasan.

    aku bergetar ketika petugas kereta mengumumkan rute perjalanan. rencana itu nyata, aku akan dipaksa untuk singgah dikota B sejenak sampai hari hampir maghrib. kereta diganti arah.
 
  aku kira hanya hatimu yang bisa berganti arah, ternyata kereta juga?
 
   sepuluh menit, aku sibuk berpamitan dengan kolega. berkata sampai jumpa. setengah jam. pemandangan kota mulai berganti hamparan sawah, menghijau, seperti bola matamu saat pernah kujanjikan masa depan yang indah, dulu.

dulu sekali.

kan, satu jam. stasiun yang begitu luas terlihat. petugas petugas bertopi menyibak nyibak alat rambunya, entah berarti apa. bodoh. di kondisi seperti ini senja mengambil bagian. langit kuning, merah. aku terkenang, menyerah.

   aku sudah sampai di kotamu jam lima sore. berpikir seribu kali untuk keluar dari gerbong. ibu ibu berlipstik tebal naik bersama anaknya, abang abang mahasiswa turun. tentunya semua orang di kereta itu tidak semuanya memiliki tujuan yang sama denganku.
  
   seperti kau yang akhirnya berbeda tujuan denganku. tapi langit senja sedang manja sayang. otakku berontak. rasanya turun sejenak, mengambil gambar. dan menggoreskan beberapa lembar puisi bukanlah sebuah perbuatan dosa di sore yang tenang ini. aku keluar gerbong dengan ketetapan hati yang aku kuat kuatkan. adakah kau di pintu keluar seperti yang saat itu kau lakukan untukku? berbagi roti keju dan kusampirkan di hidung mancungmu sebelum aku mengunyahnya.
 
  hidung paling sempurna sepanjang penciptaan umat manusia, pusat semestaku, dimana aku begitu nyaman terjatuh hingga kehidupanku tak lagi utuh.

   tapi kau tak ada. jelas tak ada. tidak ada percakapan untuk janji bertukar temu. karena aku bukan lagi tamu. kau sudah pamit dan kita sudah ditakdirkan semu.

   mungkin kau sedang manjahit gaun pengantin saat aku juga menjahit luka batin. kau sedang mengukur jilbab saat mataku mulai sembab. kau sudah menghitung tamu undangan saat aku terombang ambing di persimpangan.

  kau akan menjemput akad adinda, saat sesuatu hal menyangkut padaku, tepat di dada.
 
  kuhembuskan napas panjang dan mulai mengondisikan hati. terlalu luas langit yang terhampar untuk baris baris puisi. kuambil beberapa gambar.

kerikil stasiun

panjang rel kereta.

kereta api.

gerbong sapi.

hati sepi.

tapi.

tapi, kemudian, lantas, selanjutnya, langit semakin jahannam adinda. merah kuningnya menjadi satu bersama namamu di sisa degup jantungku.

  bilik, serambi, perikardium, trikuspidalis, medulla oblongata, medulla spinalis, ku. terombang ambing kehilangan fungsinya saat itu.

   di kota yang berisi orang yang kau cintai teramat sangat. waktu akan berjalan melambat. sesaat kau akan tersesat.

   kenangan mengambil peran begitu hebat. sangat cepat seolah olah kau salah tempat dan salah alamat.

  padahal memang tepat. kau terjerat sebelum mampu pergi secara semburat.

    kediamannya sudah sangat dekat.
    tapi bumi menciptakan sekat.

   tidak ada lagi tegur sapa
   sebab kau dan dia bukan
   lagi siapa siapa.

salahkah jika aku teringat tentang semua yang pernah kau beri. salahkah jika aku teringat tentang semua hal yang pernah kau tukar. salahkah jika aku teringat tentang segala hal yang akhirnya kau bakar, adinda?

aku terkoyak risak sebab kau tak berhasil menjadi rusuk. apa kau tau bahwa ini semua terasa begitu menusuk?

  di paragraf yang terlampir
  aku menangis getir, hampir.

beginikah rasanya hujan malam hari yang tetap turun tanpa janji pelangi?

hingga seorang petugas kereta memanggilku, berbicara halus bahasa daerahmu yang aku tak paham.

" dilarang mengambil gambar mas, rahasia perusahaan!"

tapi aku tidak menghiraukannya. kembali ke gerbongku, menjeritkan pahit sebab tiba sedikit lagi aku harus pamit.
 
dilarang mengambil gambar katanya.
dilarang juga mengambil hatimu begitu.????

senja semakin kurangajar, dan leherku tak henti hentinya menoleh ke pintu keluar. berharap kau melambai disana, bahkan aku berjanji dengan diriku, jika kau ada, aku akan membelah dadaku sendiri.

  tapi tanpa kau ada pun dadaku sudah terbelah.

jantungku kerikil tajam stasiun yang selalu ingin dekat denganmu. peparuku cerobong asap pabrik gula di samping stasiun yang ingin merasuk ke organ pernapasanmu.
 
kau harus tau rasanya rindu tapi tidak pernah bisa melakukan apa apa. ingin melangkah, ingin kembali, ingin mencintaimu sekali lagi, ingin mendekapmu setiap pagi

  cemburunya aku kepada pemilikmu saat ini. yang sudah berhasil menemukan wanita terbaik di belahan dunia sebelah tenggara.

  lelaki paling biadab sekaligus paling beruntung yang pernah aku temui. aku sempurna menetekkan air mata di samping gerbong. menghapusnya dengan kaos hitamku.

  kemarilah sebentar mungkin.
  ada hati yang ingin bertanya sedikit kabar.
  ia hanya rindu cerita dulu.

kereta mengumumkan berangkat. aku pun terikat . lantas naik ke atasnya dengan hati tidak karuan.

baik baik disana. jaga diri. aku pergi. semoga bahagia.
























Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 05, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ketika sedang ingin menulisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang