Teriakan mami dari balik pintu kamar mengagetkan Nalayara dan Genta. Keduanya semakin kaget ketika sadar bahwa semalaman mereka menempati kamar yang sama. Keputusan mami mengizinkan Genta, anak sahabatnya, untuk tinggal serumah dengan mereka, telah...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Genta
"Makan nih!"
Genta memukul pria jangkung yang ada di hadapannya. Pukulan Genta mendarat telak di hidung pria itu. Darah segar mengalir perlahan, diikuti dengan tersungkurnya pria itu ke tanah. Belum sampai di situ, Genta kembali meraih kerah baju pria berwajah bule itu. Diangkatnya paksa, seolah ingin memberikannya pelajaran satu kali lagi. Wajah Genta merah menahan amarah, agaknya pria itu telah membangkitkan raksasa dalam diri Genta, sebab sebelumnya Genta bukanlah tipikal laki-laki yang senang berkelahi.
Sementara Genta sibuk menghajar pria itu, di antara kerumunan orang-orang yang menonton perkelahian mereka, terlihat seorang perempuan yang dengan cemas menantikan kapan pertarungan itu berakhir. Perempuan dengan dress hitam dan rambut panjang itu telah mencoba melerai, setidaknya menenangkan amarah Genta agar tidak menimbulkan kekacauan. Namun sia-sia, bentakan Genta terhadap dirinya cukup membuatnya terdiam dan mundur, sebab dia tahu siapa yang membuat situasi rumit ini terjadi.
Pria itu mencoba berdiri. Sempoyongan berusaha membalas pukulan Genta yang bertubi-tubi. Namun sayang, Genta tampaknya lebih sigap hingga satu bogem mentah lagi mendarat telak di bibirnya. Pria itu terjatuh, tidak bergerak lagi. Teriakan histeris terdengar dari mulut perempuan yang sejak tadi menonton perkelahian itu. Dia maju dan menarik kasar tangan Genta.
"Apa yang sudah kamu lakukan?!"
Dari balik pintu kafe, Ken keluar dan menuju ke arah sahabatnya.
"Ayo, masuk. Sudah selesai, kan? Aku akan ambilkan minuman untukmu," Ken menarik lengan Genta dan menyuruhnya untuk segera meninggalkan arena perkelahian. Beberapa orang yang menonton terlihat mengurus pria bule yang kalah dalam pertarungan itu. Genta tidak peduli, sekalipun pria itu harus mati. Yang dipedulikannya adalah menjaga harga diri.
Perempuan itu mengejar Genta ke dalam kafe. Menarik tangan Genta sesaat setelah Genta duduk di kursi sudut kafe itu. Ken melirik keduanya dari balik meja bar. Menunggu karyawannya membuatkan minuman untuk Genta. Genta mengabaikan perempuan itu, bahkan tidak berniat untuk melihat wajahnya.
"Kamu mau bunuh dia?!" sergah perempuan itu.
"Mau bunuh kamu juga," jawab Genta tanpa menatapnya.
Diambilnya beberapa tisu untuk mengelap jemarinya yang berdarah. Tangan kanannya terasa sakit dan berdenyut-denyut. Ia jarang sekali berkelahi, apalagi di usianya yang segini, ia merasa tidak perlu lagi menyelesaikan masalah dengan baku hantam. Tapi malam ini berbeda, Genta merasa pria bule itu telah mengoyak harga dirinya. Dan dia tidak bisa menahan raksasa yang tiba-tiba bangkit hingga sulit dikendalikan.
"Kamu itu salah paham!" perempuan itu mencoba menjelaskan. Dia berusaha menyentuh tangan Genta, namun Genta menepisnya.
"Sudah ketahuan berselingkuh, dan sekarang kamu bilang aku salah paham?" Genta balik bertanya. Kali ini dia menatap perempuan itu dengan tajam.