Perlahan Nala menghembuskan napasnya lega. Dari ekor matanya, ia melihat Priyanka tersenyum geli. Lift terbuka di lobi kantor. Mereka melangkah ke luar menuju resto yang tepat berada di samping kantor.
"Awalnya kupikir itu cuma gosip belaka, eh taunya beneran toh," ujar Priyanka melirik sahabatnya.
Nala mendengus, menatap garang ke arah Priyanka. "Maksud kamu?"
"Gosip tentang Arsel yang jatuh hati padamu. Aku bisa lihat itu kok. Waktu dia bilang 'nggak apa-apa, kita undur saja meetingnya sehabis makan siang. Kamu siapkan saja dulu bahannya,' Aku melihat matanya memancarkan cinta," Priyanka terkikik geli.
"Halah! Itu kan pandanganmu saja. Sebenernya kan nggak begitu. Lagian emang kliennya tadi udah telat, jadi meeting diundur habis lunch," terang Nala.
"Coba kalau orang lain yang pegang kerjaan ini, pasti kena sembur tanpa ampun deh, begitu tahu bahan meeting-nya belum kelar,"
"Lama-lama kamu kayak dukun, ya, sok tahu!" sembur Nala.
"Jadi ceritanya nggak mau ngecewain bos kesayangan nih? Sampe rela bawa-bawa laptop di jam makan siang?" Priyanka terus menggoda Nala.
"Bisa mati aku kalau siang ini nggak kukerjakan,"
"Kamu nggak akan mati selama Arsel masih jadi atasanmu. Seburuk apapun kinerjamu, dia pasti bangga. Wong dia lihatnya pake cinta, bukan pake mata," tawa Priyanka pecah sepanjang jalan.
Nala mencubit pinggang sahabatnya gemas. Kerjaan ini sudah cukup membuatnya pusing, tolong jangan tambahi lagi dengan gosip-gosip murahan itu. Kalau sampai terdengar Marco, bisa kacau urusannya.
"Itu mereka!" tunjuk Priyanka kepada dua orang yang sudah duduk dan sedang memesan makanan. Nala dan Priyanka menghampiri keduanya. Lantas bergabung menempati kursi yang kosong.
"Wuidihhh, karyawan teladan!" ledek Jimmy begitu melihat Nala meletakkan laptop di atas meja. Pria itu langsung melirik teman di sebelahnya, Lea, lalu menaikan sebelah alis dan berusaha menahan tawa.
"Apa?!" celetuk Nala sensi. Dia tahu bahwa Jimmy dan Lea juga akan bersikap sama seperti yang ditunjukkan Priyanka tadi. Sementara, Priyanka di sebelahnya sudah cekikikan nggak jelas.
"Jadi ceritanya mau makan siang pake nasi dan bahan presentasi, nih?" Jimmy masih meneruskan godaannya.
Nala menghela napas, "Ya gimana, belum kelar," tandasnya.
"Hebat kamu, Nal. Meskipun cucu pemilik perusahaan ini, tapi sikapmu sama seperti karyawan lain. Padahal bisa aja kan kamu menggantikan posisi Pak Arsel sekarang?" Lea ikut menggoda.
Nala meringis. Kedua temannya ini tidak mengenal kakek. Mau cucunya, anaknya, saudaranya, bahkan kembarannya sekalipun, kakek tetaplah kakek. Seorang pria tua yang tidak pernah bisa diajak kompromi. Maksudnya, diajak nepotisme. Kakek tak pernah bisa dibujuk untuk memberikannya posisi enak di kantor. Masih syukur dikasih kerjaan di sini, kalau tidak, mungkin Nala akan kerepotan melamar kerjaan ke sana ke mari.
"Kudengar yang akan kau temui siang ini klien besar, ya?" tanya Jimmy mulai serius.
Nala mengangguk, sambil terus mengetik sesuatu pada laptopnya. Pesanan belum datang, jadi Nala memanfaatkan waktu menunggu untuk menyelesaikan pekerjaannya."Iya, saking besarnya, bonusnya pun tak kalah besar. Iya nggak, Nal?" senggol Priyanka.
"Doakan aja tender ini goal. Kutraktir kalian makan cireng," Nala terkekeh.
"Kok cireng sih, whisky dong!" celetuk Jimmy lalu melirik teman-temannya, meminta persetujuan.
"Gayamu whisky, minum air dingin dua gelas aja kepalamu pusing!" ejek Priyanka diikuti tawa Lea dan Nala.

KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Wedding
RomantizmTeriakan mami dari balik pintu kamar mengagetkan Nalayara dan Genta. Keduanya semakin kaget ketika sadar bahwa semalaman mereka menempati kamar yang sama. Keputusan mami mengizinkan Genta, anak sahabatnya, untuk tinggal serumah dengan mereka, telah...