Nala membuka matanya perlahan. Sinar matahari masuk melalui ventilasi kamarnya tanpa permisi. Sebagian jatuh di atas sprei merah jambunya, membuat Nala menggeser sebelah kakinya merapat ke atas. Nala memicingkan mata, berusaha melihat jam yang ada di meja kecil sebelah tempat tidurnya. Sudah pukul delapan dan ia benar-benar tidak berniat masuk kantor hari ini. Setelah kejadian memilukan nan memalukan semalam, ia belum berani bertatap muka dengan Arsel, atasannya yang tampan itu.
Nala bangkit dari tempat tidur. Beranjak menuju pintu dengan semangat, sebelum detik berikutnya ia teringat sesuatu. Pria menyebalkan itu ada di sini! Nala memutar badannya dan duduk kembali di tempat tidur. Ia teringat kata-kata kakek tadi malam. Yang bener aja pria itu akan tinggal di sini? rutuk Nala dalam hati. Nala menghembuskan napas kesal. Ia benar-benar tidak terima dengan keputusan kakek memasukkan orang asing ke sini. Terlebih orang asing itu telah membuat hidupnya kacau berkali-kali.
Tiba-tiba pintu kamar Nala diketuk.
"Hallo... apakah ada orang di dalam?"
Nala terkejut. Menatap pintu kamarnya tanpa mau beranjak. Ia mencermati suara panggilan dari luar. Pintu diketuk lagi, kali ini lebih keras.
"Hallo... ada orang tidak ya di dalam sana?"
Nala terbelalak. Suara itu... Nala mengenal suara itu. Berani sekali dia membangunkanku di hari pertama dia tinggal di rumah ini! gerutu Nala kesal. Dan... apa tadi? Dia menanyakan apa ada orang di dalam sini? Dia kira kamarku ini gudang?! Tak berpenghuni?! Nala makin cemberut.
Pintu kamar diketuk semakin keras. Nala beranjak dari duduknya dan membuka pintu. Benar saja, di depan sana, Genta sudah menunggu dengan sebuah cengiran.
"Sarapan yuk!" Genta menampakkan deretan giginya.
Nala memandang sinis, "Gak usah sok akrab!" katanya dingin.
"Mulai sekarang aku memang harus akrab denganmu, kan kita serumah," Genta tidak peduli dengan raut wajah Nala yang kusut.
Nala berkacak pinggang. Lantas memandang Genta dengan tatapan tidak suka.
"Aku disuruh kakek membangunkanmu. Tapi kalau kamu tidak mau bangun, yaudah tidur aja lagi sana." Genta meninggalkan Nala tidak peduli.
Nala geram. Dia menutup pintu kamarnya dan beranjak mengikuti Genta menuju meja makan. Di sana, mami, papi, dan kakek sudah menunggu dengan senyuman. Bahkan pagi ini, senyuman kakek tampak berbeda. Nala masih cemberut, lalu menarik kursi dan duduk di sebelah mami.
"Kalau mami yang bangunin bisa hampir setengah jam. Begitu Genta yang bangunin kamu, eh lima menit langsung keluar kamar," ledek mami.
Nala diam saja, memandang Genta yang sibuk menahan senyum. Gimana nggak kebangun, gedor pintunya aja kayak orang nagih utang! rutuk Nala dalam hati. Genta melirik Nala dengan perasaan menang. Sedangkan Nala membalas dengan tatapan tajam, tapi Genta tidak peduli.
"Kamu nggak masuk kantor hari ini, Nal?" tanya papi sambil menyendok nasi goreng.
"Enggak, Pi. Malu." sahut Nala acuh tak acuh.
Kakek meliriknya. "Malu kenapa?" tanya kakek yang memang belum tahu.
"Malu sama Arsel, Kek."
Kakek, papi, dan mami saling pandang. Nala menyuap nasi goreng ke mulutnya. Sementara Genta mengawasinya dengan tatapan tak tenang. Dia merasa Nala akan membalasnya.
"Memangnya ada apa? Ada masalah?" tanya kakek kemudian.
"Klien ngebatalin tender besar yang aku ceritain kemarin, Kek, gara-gara cowok nggak tahu diri yang nabrak aku sampe laptopku remuk dan padam!" Nala melirik Genta.

KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Wedding
RomantizmTeriakan mami dari balik pintu kamar mengagetkan Nalayara dan Genta. Keduanya semakin kaget ketika sadar bahwa semalaman mereka menempati kamar yang sama. Keputusan mami mengizinkan Genta, anak sahabatnya, untuk tinggal serumah dengan mereka, telah...