Prolog

256 85 23
                                    

Bayangan gelap seorang perempuan tampak menelusuri bibir pantai. Raut wajahnya semendung langit sore itu. Ada kesedihan yang tampak menggantung di pelupuk matanya. Tidak ada senyum di sana, kontras dengan suasana sendu yang dilahirkan langit saat itu. Gemuruh ombak di kejauhan, seperti melodi yang mengiringi keping hatinya yang semakin sedih.
“Bagaimana ini?” bisiknya parau.

Angin pantai berhembus kencang. Membuat deburan ombak semakin lihai berkejaran. Tangan kirinya merapikan sebagian rambut yang menutupi wajahnya. Mengunci rambut curly itu ke belakang telinga. Sementara tangan kanannya masih setia memegang ujung perutnya. Tidak ada yang tahu, bahwa di balik perut itulah kegundahannya bermula.

Perempuan berkulit putih itu terus berjalan. Menyisiri bibir pantai dengan langkah pelan. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Setelah kejadian dua tahun lalu membuat seluruh kehidupannya berubah. Keadaan yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Seperti menariknya paksa ke kehidupan yang sama sekali tak ingin ia jalani.

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Tinggal bagaimana ia menjadikan bubur itu agar lebih nikmat disantap. Kesalahpahaman yang terkadang sulit sekali dijelaskan. Dan kebenaran yang terkadang sulit sekali mendapat tempat. Bahkan orang-orang terdekatnya pun sulit sekali mempercayai semua pengakuan yang pernah dia katakan.

Perempuan itu menarik napas dalam. Telah ada manusia lain di dalam tubuhnya. Telah ada manusia lain yang menempati rahimnya. Dan kemarahannya membuat sang ayah dari bayi yang dikandungnya memilih pergi entah kemana. Ia merasa bersalah. Namun sudut hatinya tak bisa menerima. Pernikahan yang tak pernah ia harapkan, pernikahan yang berawal dari kesalahpahaman.

Tapi lelaki itu baik. Meski sesekali sering membuat sakit kepala. Ia tahu, perlakuannya teramat sangat menyakitkan. Atau bahkan tidak bisa lagi termaafkan. Hingga lelaki itu memilih menepi untuk waktu yang entah sampai kapan. Ia ingin marah. Marah semarah-marahnya karena merasa ditinggalkan. Tapi, bukankah selama ini dia memang tak mencintai lelaki itu? Lantas, mengapa sekarang ia seperti pincang?

Seperti kehilangan pegangan untuk bisa terus berjalan. Bahkan hatinya lebih sakit daripada mengetahui Marco—kekasihnya—meninggalkannya juga. Kehidupan yang lebih pahit seakan baru dimulai detik ini. Ia bahkan tidak tahu, apakah ia akan sanggup melewati segalanya seorang diri.

Perempuan itu menghentikan langkahnya. Menatap sejauh mungkin kegelapan laut di ujung sana. Rintik satu persatu mulai luruh. Mengenai pelipisnya tanpa sengaja.
Dalam hitungan detik, air hujan turun dengan pongahnya. Bahkan tanpa sempat membuatnya bisa berpikir untuk menentukan di mana ia harus berteduh.

Perempuan itu berjalan santai menuju sebuah kedai kopi yang ada di sudut jalan masuk. Tidak lagi peduli tubuhnya sudah kuyup tersiram air hujan. Dan bahkan tak juga peduli dengan tatapan pengunjung lain yang melihatnya dengan penuh iba.
Ia membuka pintu kedai, lantas masuk membawa serta air hujan yang menetes dari tubuhnya.

“Nalayara?” suara berat seorang lelaki terkejut menyapanya.

“Bisakah kau beritahu di mana suamiku?” suara perempuan itu menggema di udara.

Beberapa detik kemudian, ia jatuh berdebam di lantai.

Pingsan.

Imperfect WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang