2

16.5K 1.2K 5
                                    

Raras menunggu selama satu jam di UGD. Dia mengusap wajahnya berkali- kali, andaikan waktu bisa diputar, mungkin dia lebih memilih menghajar Divo dari pada melampiaskan kemarahannya yang berbuntut maut.

Pak kumis sudah pulang, dengan alasan dia harus menjemput baju dan perlengkapan Wisnu, orang tua itulah yang bisa bersikap bijak atas kejadian ini, tak sedikit pun dia mencela Raras.

Laki-laki itu adalah Wisnu, pemuda kampung yang bekerja sebagai kuli bangunan. Dia anak pertama dengan tanggungan empat orang adik dan satu orang ibu yang sakit-sakitan. Setidaknya itulah yang dikatakan Pak kumis berkaitan dengannya, Wisnu sore ini berniat membawa ibunya ke rumah sakit, dia menggunakan motor tua yang tidak pantas lagi dikendarai.

Sesaat kemudian, Raras mengikuti perawat yang memindahkan Wisnu dan ibunya ke ruang perawatan. Seorang dokter memanggil Raras ke ruangannya, dia dokter muda yang sangat ramah. Raras dipersilahkan duduk. Raras tau, apa yang akan didengarnya beberapa saat lagi bagaikan vonis hukuman pidana yang akan dijatuhkan padanya.

"Anda keluarganya?"

"Iya, apa semuanya baik-baik saja?" Raras menunggu jawaban dokter dengan hati berdebar.

"Pada dasarnya tidak ada organ vital yang terluka, pasien atas nama Wisnu mengalamai patah tulang di kedua kakinya."

"Apakah ada kemungkinan untuk sembuh?"

"Ada, tapi dengan waktu yang lama dan beberapa kali operasi."

"Syukurlah! tidak masalah." Raras membuang nafas lega. "Lalu, bagaimana dengan ibunya?"

"Ibunya hanya luka robek di bagian paha dan lengan, dia pingsan bukan karena kecelakaan, tapi karena sangat syok, sekilas saya merasa si Ibu memiliki penyakit yang cukup serius, untuk lebih membuktikan dugaan sementara, pasien harus melakukan serangkaian tes mendalam."

"Lakukan yang terbaik, aku akan membayar berapa saja biayanya." Raras menggenggam tangan dokter wanita itu.

"Sudah tugas kami." Dokter itu tersenyum.

***
Wisnu dan Bu Parmi dirawat di ruangan yang sama, supaya lebih memudahkan Raras memantau perkembangan dua orang itu. Setidaknya Raras bisa bernafas lega, korbannya tidak tewas.

Raras melihat Wisnu membuka matanya perlahan, dia meringis sakit, matanya mulai mengawasi ruangan dan berakhir di wajah Raras dengan pandangan bingung.

"Kau sudah sadar?" Senyum Raras mengembang. "Aku harus memanggil dokter." Raras berlari keluar ruangan.

Wisnu melirik bangkar di sampingnya, tidak jauh, cuma berjarak tiga meter dari bangkarnya sendiri.

"Ibu, Ibu?" Suara berat Wisnu menggema di ruangan, kepalanya masih sakit.

Dia mencerna kenapa dia bisa berakhir di rumah sakit, sore itu... dia berniat mengantarkan ibunya kerumah sakit karena ibunya sering mengeluhkan sakit di bagian dada dan tulang punggung, dan tiba-tiba dari arah berlawanan sebuah mobil sport menabraknya. Setelah itu, dia tidak ingat apa-apa lagi.

Mata Wisnu teralih ke pintu masuk ruangan, wanita tadi mengikuti seorang dokter yang berjalan tergesa- gesa. Memeriksa tensi darah dan beberapa bagian tubuh Wisnu yang lain.

"Bagaimana, Dok?"

"Malam ini dia harus dioperasi," jawab dokter.

"Lakukan yang terbaik! aku mohon!" ucap Raras.

"Sudah menjadi tugas kami."
Dokter melirik bangkar Bu Parmi. Wanita tua itu belum juga sadarkan diri. Dokter menekan sedikit nadinya.

"Kami akan merujuk Bu Parmi ke spesialis jantung, ada yang janggal di sini, tapi saya tidak berani memastikan."

Wisnu yang dari tadi diam, melebarkan mata, spesialis jantung? Apa ibunya menderita sakit jantung? Memang beberapa tahun ini ibunya sering mengeluhkan sesak nafas dan sakit di tulang belakang yang menjalar ke bahu, dia sudah membujuk ibunya kerumah sakit, tapi selalu ditolak dengan halus, mungkin sang Ibu tak ingin membebaninya karena hidup mereka yang miskin, hanya Wisnu yang menjadi tulang punggung keluarga semenjak ayahnya meninggal dunia.

Wisnu menatap Raras, Raras terlihat lelah dan gusar.

"Apa Anda yang menabrak kami?" tanya Wisnu.

Raras mengangguk.

"Maafkan aku! semua salahku," jawab Raras. Dia duduk di kursi di samping Wisnu.

"Aku akan bertanggung jawab sampai kau sembuh."

Tak ada jawaban dari Wisnu. Pemuda itu memilih menatap jendela rumah sakit, apa yang akan terjadi padanya dengan kaki yang patah begini, adik- adiknya akan kelaparan.

Raras melihat wajah sendu itu, kemudian membuka suaranya.

"Jangan kawatirkan apapun, aku akan bertanggung jawab terhadap biaya keluargamu," jawab Raras.

Wisnu menatap sekilas, anak orang kaya selalu mencari jalan keluar melalui uang.

"Malam ini kau akan dioperasi."

"Dan setelah itu aku akan menghabiskan hariku di kursi roda," jawab Wisnu lemah, kedua kakinya patah, apa lagi yang akan di lakukannya.

"Kau akan sembuh, aku janji kau akan pulih seperti sedia kala," jawab Raras.

Wisnu kembali diam, laki-laki itu tidak suka banyak bicara dan cendrung tertutup.

Raras sangat lelah sekarang, ayahnya menelfon berulangkali menanyakan keberadaannya, dia hanya mengatakan bahwa di baik-baik saja dan akan menelpon kembali.

Raras berjalan perlahan ke sofa ruangan, merebahkan tubuhnya di sana, dia benar-benar lelah saat ini. Terlalu banyak kejutan yang datang padanya.

Beberapa saat kemudian dia sudah tertidur.

Wisnu melirik wanita itu, tanktop biru laut dipadukan dengan celana di atas lutut , sepatu sport dan sebuah topi melekat padanya. Semua hal yang melekat di tubuhnya adalah barang mahal khas anak orang kaya, pantas saja dia tidak kawatir dengan perkara uang.

Wisnu melirik kembali ke bangkar sang Ibu, ibunya masih belum sadar, matanya terpejam dan beberapa perban melekat di beberapa bagian tubuhnya.

Wisnu memejamkan matanya, hari harinya untuk kedepan akan berjalan dengan sangat berat, kakinya begitu dibanggakan untuk mencari nafkah, sekarang dia tak ubahnya akan seperti bayi yang tidak bisa melakukan apa-apa.

Jiwa Yang Hilang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang