Pernikahan sudah terjadi dua jam yang lalu, di sebuah mesjid kecil di kampung Wisnu. Tak ada keluarga Raras yang menghadiri, kecuali ayahnya yang terpaksa menikahkannya, setelah akad nikah selesai, ayahnya langsung pergi tanpa sepatah kata.
Lima hari Raras memohon pada ayahnya untuk menikahkannya dengan Wisnu. Awalnya ayahnya menolak, tapi akhirnya dia memutuskan untuk datang menikahkan Raras. Tak ada pertanyaan dan tegur sapa sedikit pun dari ayah Raras, dia tidak menatap Wisnu sama sekali.
Raras masih teringat percakapan terakhir dengan ayahnya dua hari yang lalu.
"Aku mohon, Ayah! semua ini untuk menebus rasa bersalahku, laki-laki itu tulang punggung keluarga dan memiliki banyak adik yang harus dinafkahinya, sekarang kakinya patah karenaku, Ayah."
"Kau tak pernah berhenti membuat kekacauan, aku tidak akan menikahkanmu, karena dia tidak sebanding dengan kita, jangan mencemari keluarga dengan menikahi orang biasa."
"Ayah, aku tidak pernah meminta apapun selama ini, anggap saja aku meminta tolong pada ayah, setelah ini aku berjanji tidak akan merepotkan ayah lagi, ayah boleh mencoretku dari silsilah keluarga, jika ...."
"Apa yang kau katakan, aku jauh-jauh menyekolahkanmu ke luar negri, apa ini yang kau dapatkan?"
"Ayah, sekali ini saja, bahkan aku tidak pernah meminta apapun sebelumnya."
Ayahnya terdiam.
"Jangan salahkan ayah jika kau menyesali semuanya di kemudian hari, kau boleh menikah dengannya sampai dia sembuh total, pernikahanmu harus dirahasiakan, ayah tak ingin malu gara-gara ulahmu yang terlalu banyak. Lima bulan, ayah rasa itu cukup lama, jaga dirimu! jangan sampai kau bertindak jauh yang menyebabkan semuanya kembali kacau, ingat pernikahan ini sementara, ayah yang menikahkan kalian, dan ayah juga yang akan mengakirinya nanti."
Ayahnya langsung pergi begitu saja.***
Akad nikah hanya dihadiri beberapa orang, tak ada yang bahagia dengan pernikahan ini termasuk Wisnu, dia duduk di kursi roda dengan wajah dinginnya. Wisnu melantunkan kalimat sakral itu dalam sekali helaan nafas, setelah itu bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Tidak ada gaun mewah, apa lagi resepsi, akad nikah selesai dan mereka pulang ke rumah Wisnu, rumah yang lebih layak disebut gubuk. Rumah tua yang hanya memiliki dua kamar, adik-adik wisnu sudah duduk rapi menunggu sang Abang pulang.
Selama beberapa hari ini dan seterusnya, Raras sudah membayar seorang pelayan khusus untuk Wisnu. Untuk membantu laki-laki itu dalam segala hal, pemuda itu masih satu kampung dengan Wisnu, dia keponakan jauh Pak Kumis, dia remaja yang putus sekolah. Dia sangat gembira dengan tawaran pekerjaan ini.
Raras meletakkan makanan yang sengaja dibelinya untuk adik-adik Wisnu, mereka melirik satu sama lain dan mengambil makanan itu malu- malu.
"Antarkan Wisnu ke kamarnya!"
"Iya, Mbak," jawab Joko. Dia mendorong kursi roda Wisnu, Raras mengikutinya dari belakang.
Dia tercengang, bagaimana seseorang bisa semiskin ini, kamar itu tidak layak disebut kamar, hanya ada kasur tipis yang terbentang di lantai semen yang sudah pecah, satu bantal lusuh dan selimut tipis, tak ada apapun selain itu, selain lemari tua yang sudah tidak memiliki pintu.
Joko membantu Wisnu untuk merebahkan tubuhnya, meletakkan bantal di dinding beton yang sudah tua untuk Wisnu bersandar.
" Joko, tinggalkan kami."
"Baik, Mbak." Joko bergegas meninggalkan Raras dan Wisnu, lalu menutup pintu kamar itu.
Wisnu masih memalingkan muka, dia tak bicara sepatah kata pun semenjak dari rumah sakit. Laki-laki itu begitu misterius, tak terbaca dan tak tersentuh.
"Kenapa kau selalu membuang mukamu?"
Laki-laki yang barus berstatus suaminya itu, menatap tajam kepadanya. Wajahnya dingin, dan rahang mengeras.
"Jangan kasihani aku! aku bukan pengemis."
Suara bass itu menggema di kamar tua miliknya. Raras tertawa hambar, kasihan? Memang, dia merasa kasihan dengan hidup laki-laki itu.
"Kau salah paham, aku hanya mencoba bertanggung jawab dengan apa yang kulakukan, tak ada sedikit pun di hatiku ingin mengasihanimu." Raras lelah, dia tidak mungkin mengatakan isi hatinya yang sebenarnya. Kejujuran akan menyakiti harga diri pria itu.
Wisnu diam saja, dengan meringis, dia merebahkan badannya membelakangi Raras. Matanya menerawang.
Raras tidak memahami sifat Wisnu, dia sangat tertutup dan tidak mau membuka diri.
Kamar ini ... Raras begitu prihatin melihatnya, bagaimana Wisnu bisa tidur di kasur tipis dan lusuh begini. Kamar yang berukuran tiga kali tiga meter, tak ada selimut tebal, tak ada sofa seperti di rumahnya.
Bahkan ini malam pertama mereka sebagai suami istri, malam yang sangat ditunggu oleh pasangan penganten pada umumnya. Dia bukannya berharap akan melalui malam ini dengan bermesraan, tapi setidaknya, Wisnu memperlakukannya dengan baik.
Raras membuka sanggulnya, menghapus sisa make up tipis yang melekat di wajahnya. Raras mengambil tasnya sendiri untuk dijadikan bantal, lalu tidur di lantai semen yang pecah.
Raras menggulung dirinya seperti janin, ini adalah pedesaan, malam hari sangat dingin.
Raras membiarkan air matanya mengalir, membasahi tas bewarna abu-abu yang berisi pakaian gantinya, dia mengetatkan rahangnya supaya suara menggigil kedinginan tidak terdengar di telinga Wisnu.
Raras tak tahan lagi, tak ada tempatnya di dunia ini, ke mana seharusnya dia pulang? ke rumah orang tua yang tidak menyayanginya atau ke rumah suami yang tidak menginginkannya?
Raras tersedak tangisnya sendiri, hidup miskin teramat sangat sulit. Bahkan dia merasakan tubuhnya kram dan persendiannya sangat sakit.
Raras menangisi dirinya sendiri, seperti biasa, takkan ada yang bertanya padanya, takkan ada yang mengusap air matanya. Dia hanya memiliki dirinya sendiri untuk meminta bantuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa Yang Hilang
RomansaPlagiat dilarang mendekat -------------- " Aku akan lakukan apapun untuk bertanggung jawab, selain mendekam di penjara." Kata sang wanita muda dengan bibir bergetar. Wanita tua yang sekarat itu membalas lemah, "Menikahlah dengan anakku! Takkan ada w...