Untuk kamu, yang menghamba rindu pada jiwa nirwana cinta
Masihkah kamu menanti? Menanti setia waktu seperti laba-laba setia merajut jaring, menunggu garis hidup nyawa yang terhampar pada asa jaring penghidupannya. Agar kamu dapat balasan rasa, balasan rindu yang kamu haturkan pada hujan. Hingga di sela-sela jemarimu, mengalirlah anak-anak kasihmu, terlahirlah dari saraf-saraf harapmu puisi untuk kekasih. Sungguh tiada jemawa ada terlintas pada benak-benak perindu cinta. Mengepak sayap surgawi dari cahaya surga, menaburkan benih-benih cinta yang kamu asakan untuk seseorang yang adalah kamu berdoa.
Masihkah kamu tersadar? Ataukah cinta telah menghantarmu pada benang merah nikmat surgawi? Melenakan diri pada kubangan rindu yang menggebu, pada dentum fitrah cinta yang merebut keutuhan sadarmu, pada rasa yang mengetuk pada pintu-pintu hati sucimu. Sungguh tiadalah jemawa yang bisa kamu pamerkan pada fitrah cintanya.
Masihkah kamu melihat? Ataukah kamu terbuta daripada hidup yang melirik, membelut, mengekangmu pada kemelut kemelaratan jiwa? Lihatlah, oh Sayangku, lihatlah, bagaimana bisa jiwamu mengemis cinta padahal adakah dia melihat hadirmu? Sadarlah, oh Sayangku, apatah cinta memberimu makan? Apatah cinta mengasihimu dengan limpahan harta? Bukankah cinta merundungmu dengan nafsu?
Oh, Sayangku, tiada jemulah karena kasihku aku teringat akanmu. Sadarlah, liriklah barangkali sedetik pada raga nestapa jiwamu ini. Sayangku, aku lapar akan iman ada Ilahi, aku haus akan dahaga ilmu. Adakah mengapa kamu tarik aku pada lenguhan nafsu berahi yang mengusik sepi, memaksa bangkit syahwat jemu yang tiada tepat pada waktu yang nyata? Aku tidak bisa. Aku tidak kuat. Biarlah aku terlepas dari jerat-jerat ragamu.
Yang terbelenggu,
Jiwa perindu Ilahi