Surat 7

11 2 0
                                    

Untuk kamu, yang merasa rendah dan tak berguna

Maaf, kali ini, saya ingin memulai surat ini dengan pertanyaan dari kesadaran. Apakah kamu pernah merasa rendah?  Pernahkah kamu merasa tak berguna?  Saya serius mempertanyakan ini, sebab barangkali saya temui lebih dari satu-dua insan yang merasakannya.

Jikalau saja jawabanmu adalah iya, saya akan menerimanya. Namun, apabila jawabanmu tidak, saya pun tetap menerimanya. Tetapi, saya rasa jawabannya sepantasnya iya, bukan? Sebab, bukankah semua itu terasa familiar?

Lagi, adakah pernah kamu temui sepi tak berujung? Seolah menanti kepulangan yang tak seharusnya pernah dinanti lagi. Seolah bertahan di dermaga sendiri, hanya untuk mencari kepastian yang tak kunjung sampai, hingga akhirnya waktu memutuskan mengambil alih pikirmu, waktu memutuskan semakin dekat waktumu, sebab, kamu telah memutuskan menyerah.

Kamu boleh menjawab tidak, tetapi, kali ini, kukatakan padamu, beberapa dari kita akan menjawabnya ..., "Ya."

Sebab, tahukah, terkadang, tak bisa dipungkiri bahwasanya jenuh adalah teman hidup, teman sejati. Bahkan saya mengakuinya sebagai sahabat dalam hidup saya. Tak bisa dipungkiri bahwa mungkin akan ada sepi dan sendiri dalam tiap fase insan yang tengah mengarungi lautan takdir kehidupan yang fana ini. Tak bisa dipungkiri bahwa selalu terngiang ingin menyerah dalam pikiran dan jiwa.

Saya akui, saya tak pandai menipu, maka, bilamana disampaikan kesedihan, mau tak mau, air mata akan mengalir, menganak lepas dari rengkuhan ibunda, menghadirkan simpati sebagai manusia biasa, mewujudkan keberadaan seonggok daging dalam diri, yang mana ialah ... hati. Tetapi, saya juga tahu, bahwasanya tak setiap kesedihan akan menghadirkan air mata, sebab, kadangkalanya, hati menjadi tidak peka, interaksi menjadi keasingan, sosial menjadi sesuatu yang mesti ditolak mentah-mentah oleh pribadi. Ya, saya pun mengakui kalau saya tak bisa menolak respon itu. Meski seringkali, saya tak tahu, kalau saya menolak telak hubungan itu.

Saya rasa, jatuh dalam kubang kesedihan seharusnya adalah wajar. Namun, bisakah kita anggap lagi ini wajar ketika jatuhmu tak lagi sekadar pada kubangan, tetapi justru jurang curam yang menelanmu dalam kegelapan sampai tak bisa lagi kau berdiri dan bangkit keluar dari jurang itu? Apakah semua itu pantas diterasingkan dari dunia yang seharusnya membuka tangan menerima? Mengapa? Mengapa kita tak mencoba saling menjadi sandaran daripada rasa sakit bersama di hidup yang tak lebih lama dari jatuhnya daun kering menabrak tanah? Mengapa? Mengapa kita tak mencoba saling menolong untuk bangkit dari jurang terjal yang sama? Bukankah tanganmu ada untuk saling menggenggam? Bukankah mata kita ada untuk saling menatap?  Menatap apa yang pantas untuk dilihat dan diperjuangkan, bukan sekadar kejahatan dan kehinaan dunia. Bukankah kita seharusnya ada untuk menjalin harapan?

Saya pikir, seharusnya, kita sama-sama hina. Kita yang sempat berpikir menyerah, bukankah sama-sama tak waras? Kita yang pernah mencoba mengakhiri, bukankah sama-sama tak mudah diterima lagi? Lalu, mengapa? Mengapa tak mencoba menjadi satu? Mengapa tak mencoba mencintai untuk satu? Mengapa kita tak mencoba berjuang menatap cita yang satu?

Saya rasa, kita selalu punya tempat. Kita akan selalu punya nyali. Kita akan selalu punya kuasa. Kita akan selalu dapatkan pengampunan. Bukan, bukan kepada manusia, tetapi, kepada Tuhan. Sebab, daridulu, bukankah Tuhan tak pernah menolak kita? Maka, saya memilih ... percaya, bahwasanya ada janji kehidupan yang lebih baik. Sebab Tuhan punya cara-Nya sendiri untuk memberi kita takdir yang terbaik.

Yang tengah mencoba menggenggam percaya,

Saya, meski nanti, mungkin saya harus terjatuh

Untuk KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang