Untuk kamu, yang merebut afeksinya dariku
Aku adalah selembar kertas yang dipenuhi oleh coretan. Setiap coretan merengkuh makna, tahukah kamu? Lalu, diriku ini merangkai makna-makna menuju satu rasa. Kamu menyebutnya cinta, tetapi aku tidak. Aku menyebutnya ... afeksi.
Jika rindu bertakhta asa, lalu di mana letak kuasa? Bilamana pengharapan menjadi kunci, lalu di mana penghambaan yang nyata? Kita berharap pada celah-celah hati manusia. Kita mengemis putih dari dominasi kelam hati manusia. Seonggok daging itu, lalu berupa apa?
Maka biarlah, biarlah kuceritakan makna dari tiga coretan pertama diriku. Bacalah, dengarkanlah, simaklah, barangkali puing-puing kata terselip di bibirmu dapat terlepas. Terungkap bebas laiknya camar terbang bebas tanpa khawatir apa.
Coretan pertama, kutorehkan dengan pena tipis. Hati, adalah kata yang tertulis. Terawanglah di pucuk bukit, galilah palung sedalam Mariana, intiplah bisikan angin, tak akan kau lihat rasa yang nyata. Hanya fana yang tak kuasa menengok kebenaran. Kebenaran bahwa ... dia merindu.
Coretan kedua, kuukir dengan bolpen. Disana tertanda, rindu. Lihatlah alam sadarmu, koyakkah? Ketika kamu temui pikir pada seseorang yang mengukir, menggoda, membuatmu menyerahkan takhta hati semudah mentari menyapakan sinarnya, tiadakah terselip setitik rindu di sudut penghuni hati? Kemudian tiba waktunya rindu mengakar, menganak, menjalar seperti nadi mengikat hidup insan, berubah menjadi sesuatu yang kamu tolak habis-habisan. Aku mengundangnya ... afeksi.
Coretan ketiga, kujejaki dengan spidol berwarna. Di sana terlukis, afeksi. Bayangkan surga dunia, limpahan cinta luar biasa, itulah afeksi. Seperti langit biru yang tak berujung, seperti dalam bumi yang tak perlu terukur, maka afeksi adalah cinta dan kasih yang dilagukan. Adalah melodi, adalah kata, adalah karya. Adalah pahatan rasa yang paling jujur, jauh mengakari sukma dengan bahagia.
Tiga coretan itu telah terpatri dalam diri. Membatu, menjadi suatu persembahan bagi jiwa yang mengharap kasih dari afeksinya. Lalu, tiba-tiba kamu hadir. Kamu datang seolah terbitmu adalah anugrah. Kamu singkirkan diriku. Kamu buat dia melepas segala afeksi tujunya untukku.
Tahukah kamu, semua berujung pada pahitnya asmara? Sakit, perih, lara tumpah ruah memenuhi benak, merajai rasa. Bahkan, ragaku merapuh, meretih seperti kayu terbakar menjadi arang. Acapkali aku bertanya, apalah artinya aku menunggu afeksi bila saja direbut semudah itu?
Gadis pemendam rasa yang berharap pada afeksi,
Aku, yang direbut pilu
