Terbaring di atas kasur indah. Menatap atap bersama guling. Sekejap aku memikirkan tentang diriku, seorang lelaki yang terlahir dari orang tua kaya. Walaupun ibuku selalu menyuruh untuk bersekolah, tapi kenapa aku tidak ingin? Kenapa aku kurang semangat mempelajari akan sesuatu hal?
"Dion, jadi kapan kamu akan daftar sekolah?"
Terdengar suara lembut ibuku lagi dari arah dapur. Ini sudah ke-49 kalinya dia bertanya. Sejak 2 minggu kemarin, hanyalah dia seorang yang suka menanyakanku tentang hal ini. Alasannya, itu sudah pasti karena dia tidak ingin melihat anaknya tidak berpendidikan.
"Aku tak mau lanjut sekolah, bu. Bosen!" aku menjawabnya denga lancang.
Sejak awal aku tidak ingin sekolah. Karena simplenya, sekolah tidak menjamin kesuksesan. Paling hanya satu hal yang bisa aku dapatkan, yakni belajar kesabaran karena banyaknya tugas menumpuk. SMP, mungkin aku masih bisa menuruti kemauan ibuku untuk bersekolah. Akan tetapi, jika telah melewati masa itu aku akan berpikir sendiri tentang masa depanku ini.
Jangan berpikiran negatif tentang diriku. Ini pun hanyalah perbedaan dari banyaknya jenis kepribadian. Introvert, ekstrovert, dan embivert adalah kepribadian yang paling terkenal. Introvert dikenal dengan julukan si pendiam. Ekstrovert dikenal dengan banyak bicara. Embivert dikenal dengan menguasai keduanya. Jujur saja, aku belum terlalu memahami yang mana kepribadianku. Aku hanya berpikir bahwa aku adalah orang yang belum pernah mencintai, hingga akhirnya aku begini.
Sudah tujuh belas tahun aku hidup di dunia. serasa, hidup ini tidak ada artinya. Bahkan karena belum pernah menemui seseorang yang bisa membuatku jatuh cinta, aku sempat ingin bertindak untuk mengakhiri hidup ini.
"Memangnya, kamu belum mendengar isu baru belakangan ini...." Ibuku terlihat tersenyum mengatakannya. "Tentang seorang guru cantik yang masih berumur 17 tahun."
"Ha?" seketika mataku terarah ke ibu. Aku mendadak penasaran mendengar penjelasan lebihnya lagi. Selama ini aku tidak pernah berpikir jika akan ada seseorang seumuranku bisa mengajar di SMK.
"Sebulan lalu, ada wanita cantik yang terpilih mengajar di SMA Negeri Satu. Namanya Bu Eni." Kata ibuku. "Dari namanya saja, kita sudah mengenal jika dia anak desa. Namun walaupun begitu, dia memiliki kekayaan hati dari sifatnya."
"Hmm, kekayaan itu memangnya bisa diukur seperti itu?"
"Tentu saja bisa. Seperti yang pernah ibu katakan bahwa uang bukan segalanya. Justru jika kita memiliki hati yang kaya, kita akan bisa menerima dan mengikhlaskan segala apapun yang terjadi pada kita. Ya, kalau kata banyak orang sih kita akan belajar bersyukur ketika kita merasakan kehilangan."
"Lalu, apa yang lebih menarik lagi dari Bu Eni?"
Ibuku tertawa keras mendengar pertanyaanku. Dia terlihat menyadari bahwa aku menikmati pembicaraan ini. Aku yang duduk serius, tersipu malu melihatnya bertingkah seperti itu.
"Ibu tidak ingin meceritakan lebih banyak lagi kepada kamu. Ibu hanya ingin kamu masuk sekolah sana, dan bisa berkenalan dengannya..."
"He?" Aku memotong karena seperti tahu maksud arah perkataannya.
"Jujur saja, selama ini ibu cukup kesulitan untuk mempercayai orang. Tapi setelah ibu menelusuri lebih lagi, ibu yakin jika dialah orang yang akan cocok denganmu."
Mendadak aku menghela nafas. Tidak percaya jika ibuku berpikir seperti ini. Apa yang dilakukannya selama ini, ya tuhan.
"Bagaimana?" tanya ibuku.
Aku mendiamkannya. Sejak di SMP, aku tidak begitu tertarik kepada guru-guruku. Tapi aku menjadi iba karena melihat perjuangan ibuku. Karena bagaimana pun, dialah yang selama ini bisa membuatku seperti ini.
"Baiklah, bu. Apa boleh buat jika ibu memaksa." Jawabku dengan mata sinis.
Suasana menjadi hening. Ibuku tersenyum kecil.
"Kenapa malah diam?"
"Ibu sudah tahu jika kamu akan menerimanya." Jawab singkatnya membuatku semakin menganggapnya aneh. "Mulai besok kamu sudah bisa sekolah disana."
Tiba-tiba ibuku memberi selembar kertas. Ketika aku membukanya, aku langsung mendapatkan kalimat, Selamat kepada Adriano Choliq atas keterimanya di sekolahan kami SMA Negeri Satu.
***
Mulailah hari pertama aku bersekolah kembali. Aku mendapatkan kelas B di sekolah SMA Negeri Satu. Aku sedikit tidak mengerti dengan konsep lingkungan di sekolahanku yang baru. Terlihat sederhana, namun indah di mata.
"Sssrrrkkk... Sssrrrkkk... Sssrrrkkk..."
Terdengar suara langkah kaki mendekatiku. Dalam hati aku bergumam mungkin itu halusinasi.
"Halo, selamat pagi."
Aku terdiam mendengar sapa dari suara yang lembutnya melebihi ibuku. Suaranya begitu sejuk sampai telingaku ingin selalu mendengarnya.
"Halo." Aku menjawab dengan terbata-bata.
"Perkenalkan aku Bu Eni. Guru matematika di sekolahan ini." Katanya sembari mengeluarkan senyum manis. "Kamu anak baru, yak? Siapa nama kamu?"
Dalam situasi seperti ini, aku tidak ingin terlihat lemah. Aku harus berwibawa dan terlihat lebih dewasa.
"Iya saya anak baru, bu. Perkenalkan nama saya Dion."
Bu Eni melirik penampilanku dari atas sampai bawah. Mata yang serius, ditambah senyum yang manis membuatku makin meleleh.
"Penampil dan Namamu sama-sama bagus."
"Hehe, makasih bu." Aku tersenyum malu.
"Ini kartu nama saya. Jika di hari pertama masuk sekolahmu ada yang kurang enak, kamu bisa bercerita ke saya nanti malam."
"Baik, bu. Aku pergi ke kelas dulu yak." Jawabku sembari berlari.
Dari SD sampai SMP, aku belum pernah berbicara lembut dengan guruku seperti ini. Waktu itu, aku sangat kecewa karena mereka mengajarkanku dengan kekerasan. Bahkan aku sampai berpikir semua sekolah akan seperti ini.
***
Malam pun tiba. Aku bimbang antara ingin menelponnya atau tidak. Tapi ada satu hal yang aku tidak tahu, perasaan ini seperti terus memaksaku untuk mengenalnya lebih jauh lagi.
"Jika ada seseorang yang ingin ditelpon, telpon saja!"
Sontak suara ibuku mengagetkanku. Ibuku pun kembali tersenyum. Dia seperti mengetahui seseorang yang ingin aku telpon.
"Iya, bu."
Malam itu pun aku menelpon Bu Eni. Begitu asyik karena dapat membicarakan banyak hal. Walaupun dia seumuran denganku, tapi aku belajar banyak darinya, dari apa saja pentingnya pendidikan, dari apa saja yang harus aku persiapkan, menghadapi segala macam cobaan, terutama guru yang biasanya terlihat seram dan menjengkelkan.
Hmm... Jadi ternyata begini rasanya mencintai seseorang yang berhati kaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fajar Haetami
Short StoryIni adalah sekumpulan karya tulisan yang saya buat. Harapannya, kalian membaca dan berliterasi bersama. Ada pesan-pesan tersirat yang saya sampaikan buat kalian. Silahkan membaca :")