Sebuah Kisah Desa Bernama Besito

3 1 0
                                    

Alkisah, ada murid dari Sunan Kalijaga bernama Ki Ageng Selo. Beliau mempunyai anak bernama -Suwargi Kerto Gento Kesumo. Suwargi dikenal sebagai kyai yang dulunya nakal.

Ketika Suwargi berumur 7 tahun, ia mencuri ayam tetangga dan berujung pada pertengkaran dengan ayahnya. Ayahnya, Ki Ageng Selo, menasehatinya untuk tidak melakukan perbuatan tercela karena itu perbuatan berdosa. Tapi, bukannya nurut, Suwargi malah main judi bersama teman-temannya sambil minum-minuman. Kembali, ayahnya menasehatinya. Ia menasehati Suwargi tepat di depan teman-temannya, alhasil Suwargi malah kena ejekan dari teman-temannya.

"Waahaha... Udah gede masih dinasehati, aja! Kayak anak kecil!!!"

Tentu saja, Suwargi langsung murka, dan saat ia ingin meninggalkan tempat duduknya, tak sengaja menyenggol Toni, anak pak lurah. Toni pun marah dan tak terima.

"Woi, apaan si! Lihat-lihat, dong! Anaknya pak Lurah, nih!" kata Toni nyolot. Bau alcohol di mulutnya bahkan menyengat.

"Apa, nih! Ngajak ribut?"

"Emang anak miskin bisa apa?!!!"

Suwargi yang tak terima pun langsung memukul Toni sampai babak belur. Orang tua Suwargi tak tinggal diam, dia menyeret Suwargi dan memutuskannya untuk berguru ke Sunan Muria.

Tentu saja Suwargi tak bisa begitu saja menerimanya. Namun apa daya Ki Ageng Selo tetap memaksanya,

"Kamu tidak boleh pulang sampai kamu berubah menjadi lebih baik!" bentak Ki Ageng Selo.

"Oke. TERSERAH! Memangnya siapa yang mau tinggal bareng orang tua kayak kamu!"

"Dasar anak kurang ajar!"

"Memang aku anak kurang ajar. Makanya pergi sana! Tinggalkan aku sendiri! Aku nyesel punya orang tua kayak kamu, dan sampai kapanpun..." Suwargi menggantung kalimatnya.

"Apa?"

"...sampai kapanpun, aku gak akan mengganggapmu sebagai orang tua ku lagi!"

Ki Ageng Selo terkejut. Kata-kata tadi membuatnya terpaku, dan dengan perasaan berkecamuk di hatinya, ia pergi meninggalkan Suwargi sendiri lalu menitipkannya ke Sunan Muria.

"Pak, titip Suwargi baik-baik."

"Baik pak."

Dimulailah kehidupan Suwargi di pondok pesantren.

Banyak masalah yang ia hadapi diawal masuk pesantren, seperti sering dihukum karena melanggar peraturan. Namun ia menyadari bahwa apa yang gurunya lakukan tujuannya baik, sehingga lama-kelamaan Suwargi menjadi seorang yang dewasa dengan sebutan Mbah Suwargi.

Suatu hari Mbah Suwargi ingin bertemu dengan ayahnya kembali. Dia berkata kepada gurunya.

"Pak, sudah lama saya berpisah dengan ayah saya. Bolehkah saya bertemu ayah saya? Saya ingin sekali bertemu dengannya."

Sunan Muria mengijinkannya dan pulanglah Mbah Suwargi ke rumahnya. Namun hal yang tak terduga terjadi, saat ia sampai di rumahnya, ia sama sekali tidak menemukan ayahnya.

Buru-buru Mbah Suwargi menuju pondoknya dan menjelaskan bahwa ayahnya menghilang.

"Wahai guruku, ayah saya tidak ada di rumah. Dulu saya pernah berkata kalau saya tidak ingin menganggapnya ayah, dan jujur saja saya menyesal. Apakah alasan ia meninggalkan rumah karena ia tidak mau bertemu dengan saya lagi?" ujar Mbah Suwargi.

Sunan Muria pun menghela nafas lalu berkata

"Saya tahu betapa khawatirnya dirimu, Suwargi. Bagaimana kalau kamu mendirikan pesantren," ujar Sunan Muria.

"Wahai guruku, untuk apa saya mendirikan pesantren? Sedang saya tidak memiliki cukup modal untuk membangunnya."

Awal mulanya Mbah Suwargi kebingungan. Selain karena ia sudah tidak tahan ingin bertemu ayahnya, ia juga tidak punya fasilitas untuk membuat pesantren tersebut.

"Saya tidak tahu keberadaan ayahmu. Jadi, menurut saya lebih baik kamu membuat keluarga baru dengan mendirikan pesantren."

"Lalu, bagaimana dengan fasilitasnya?"

"Saya akan berikan sebagian harta saya untuk kamu."

Mbah Suwargi pun hanya bisa patuh.

"Baiklah guruku. Aku akan melakukannya."

Dengan modal dari Sunan Muria, Mbah Suwargi mulai mendirikan pesantren yang sekarang dikenal Punden Mbah Surgi.

Tahun demi tahun berlalu. Mbah Surgi fokus mengajar muridnya yang semakin hari bertambah, dan jadilah keluarga besar di pondok itu. Mbah Suwargi berhasil menjalankan amanah dari Sunan Muria, namun ia masih tak mengerti alasan mengapa ia harus membangun pondok dan keluarga baru sementara ayahnya, Ki Ageng Selo, belum juga ditemukan.

Doa-doa selalu ia lantunkan disetiap selesai sholat. Mbah Suwargi sama sekali tak tahu harus apa untuk mencari ayahnya. Ia takut kalau dirinya tak akan pernah bertemu dengan ayahnya lagi.

"Ya Allah, ijinkanlah saya bertemu dengan ayah kembali." Doa Mbah Suwargi setelah sholat malam.

Di lain tempat, Ki Ageng Selo mendengar kabar bahwa Mbah Suwargi sukses mendirikan pesantren. Dalam hati kecilnya, Ki Ageng Selo bersyukur. Anaknya telah berubah, bahkan ia berjaya membangun sebuah pondok yang begitu terkenal.

"Alhamdulillah, ya Allah." Seru Ki Ageng Selo bangga.

Tapi entah kenapa, dalam batinnya ia masih memikirkan kata yang Suwargi ucapkan waktu itu. Kata yang waktu itu menyakitinya, dan itu membuatnya ragu untuk kembali. Ingin rasanya aku bertemu dengan Suwargi lagi. Tapi, apa dia masih membenciku? Apa sekarang dia mau menerimaku setelah tahun-tahun berlalu?

Namun tak disangka seseorang mendekatinya dan menyapanya. Orang itu kenal dengan dengan Ki Ageng Selo, dan ia juga bilang kalau Mbah Suwargi sudah sukses. Tapi yang jadi masalah adalah Mbah Suwargi ingin sekali bertemu dengan ayahnya. Disitulah, Ki Ageng Selo sadar bahwa Suwargi masih mau menerimanya.

Ia pun memiliki ide untuk mengajak keluarganya memberi kejutan pada Suwargi. Di hari kemudian, Keluarga mereka berkumpul dan datang ke pesantrennya Mbah Suwargi Kerto Gento Kesumo. Tentu saja, Suwargi terkejut sekaligus terharu. Ia senang bisa bertemu dengan ayah tercinta dan keluarga besarnya kembali. Dengan bersyukur, ia berkata...

"Terima kasih, ya Allah! Engkau telah mengabulkan doaku selama ini."

Fajar HaetamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang