17. Tantangan

2.8K 581 77
                                    

Ana memandang sebal pada bangunan di depannya. Kantor Yayasan Sahwahita. Kantor Rafka. Jika bukan karena rasa hormatnya kepada Ibu Kepala Sekolah, Ana takkan sudi menginjakkan kaki di sini, terlebih lagi untuk menemui Rafka.

Bu Devi tadi meminta Ana untuk mengantarkan laporan hasil observasi terhadap siswa kurang mampu ke kantor Rafka. Kebetulan jam mengajar Ana hari ini sudah selesai dan Pak Karjo, sang OB, sedang memfotokopi soal-soal try out. Jadilah Ana tampak menganggur dan kena apes karena tidak bisa menolak saat Bu Devi memberinya perintah. Sekarang Ana hanya bisa berdoa semoga Rafka sedang tidak ada di tempat. Ketua yayasan tidak setiap hari berada di kantor, bukan?

Tampaknya keberuntungan memang tidak pernah memihak padanya. Rafka ada di ruangannya dan petugas administrasi di depan menolak dititipi laporan dan meminta Ana untuk menyerahkannya secara langsung pada Rafka. Menarik napas dalam-dalam dan menghitung sampai sepuluh, Ana mengetuk pintu ruangan Rafka.

"Selamat siang, Pak. Saya mau menyampaikan laporan observasi siswa kurang mampu," tutur Ana begitu dipersilahkan masuk.

Rafka, yang sedang mengetikkan sesuatu di laptopnya, mendongak dan sedikit terkejut melihat Ana-lah yang menjadi tamunya siang ini. Pria itu lalu bersandar ke punggung kursi dan bersedekap angkuh. "Duduk," perintahnya.

Ana duduk di kursi di depan meja Rafka dan langsung menyodorkan map berisi laporan yang dimaksud. Pria itu membacanya, mencorat-coret di sana-sini seperti seorang dosen yang sedang memeriksa skripsi mahasiswa. Lalu mata Rafka menyipit saat membaca poin rekomendasi yang tertulis di laporan itu.

"Lima puluh persen? Kalian merekomendasikan keringanan biaya SPP lima puluh persen? Memangnya ini yayasan nenekmu?" cecar Rafka.

Terpancing oleh nada mengejek dalam suara Rafka, Ana menukas tak kalah sengit. "Bapak sendiri yang menyampaikan visi baru yayasan, yaitu unggul dan peduli, saat acara perkenalan tempo hari. Sekarang waktunya membuktikan seberapa besar kepedulian yayasan pada siswa kurang mampu."

"Bu Ana, kita menerapkan sistem subsidi silang. Mereka yang mampu membantu yang tidak mampu. Kalau kita memberikan potongan biaya sebesar ini, otomatis kita harus menaikkan SPP mereka yang dari golongan mampu, dan itu pasti akan menuai protes."

"Itu tugas Bapak sebagai ketua yayasan untuk mencari cara," sergah Ana tak mau kalah.

"Kamu pikir caranya semudah kamu menjual diri, ha?"

Baik Ana maupun Rafka sama-sama terperangah setelah kalimat itu terucap. Keduanya terdiam, hanya saling bertukar pandang. Namun, beberapa detik kemudian Ana menarik napas dalam dan berkata dengan tenang, "Oh, apa Bapak ingin saya menyumbangkan uang hasil jual diri untuk yayasan? Sebutkan saja nominalnya, Pak. Saya tidak keberatan membantu siswa kurang mampu. "

Rafka membelalak. Tak tahu harus berkata apa. Tak terbayangkan olehnya Ana akan mengucapkan balasan seperti itu. Seandainya Ana menitikkan air mata atau bahkan menamparnya, Rafka akan merengungkan kembali prasangkanya. Akan tetapi, tak pernah satu kali pun Ana menyuarakan bantahan. Seolah Ana mengakui kebenaran penilaian Rafka. Dan semua itu membuat Rafka semakin sakit hati. Mengapa Ana membalas cintanya dengan dusta dan penipuan?

Rafka membuang muka dan kembali memperhatikan layar laptopnya. "Silahkan keluar, Bu Ana," ucapnya tanpa melihat kembali pada Ana. "Urusan Anda di sini sudah selesai."

Ana berdiri dan berjalan menuju pintu. Namun, langkahnya terhenti karena tiba-tiba Rafka memanggilnya.

"Oh ya, Bu Ana, persiapkan diri Anda dengan baik untuk rapat persiapan UN. Saya hanya menerima kesempurnaan."

Kesempurnaan? Ya, tentu saja, pikir Ana. Rafka hanya akan menerima kesempurnaan. Tidak boleh ada cacat apa pun dalam hidupnya. Jadi ucapan pria itu dua tahun lalu bahwa dia akan bisa menerima Ana dengan segala ketidaksempurnaannya hanyalah bualan. Sekedar perkataan pemanis bibir, tanpa sungguh-sungguh diyakini.

Love Will Find A Way Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang