41. Kesempatan Kedua

3.3K 614 56
                                    

Ana memijit leher belakang, berharap pijatan pada otot-otot yang kaku bisa meredakan pegal karena terlalu lama menunduk, menatap layar laptop. Huruf-huruf yang ia ketik tampak memburam di layar, pertanda matanya sudah lelah. Maka, ia memilih untuk mematikan gawai dan keluar dari perpustakaan pascasarjana.

Tesisnya sudah memasuki bab pembahasan. Bab tersulit dan terberat. Setiap hari Ana selalu mengalokasikan setidaknya enam jam untuk fokus mengerjakan tesis di depan laptop: tiga jam di perpustakaan dan tiga jam di kamar kos. Ya, mengejar cita-cita memang harus dengan kerja keras.

Ponselnya berdering saat ia sedang menuruni tangga ke lantai satu. Ana menepi agar tidak mengganggu orang lain yang hendak lewat, lalu mengangkat telepon. Rara yang meneleponnya. Teman kosnya semasa kuliah S1 itu kini sudah menikah dan tinggal di Semarang. Sebuah kebetulan yang Ana syukuri.

"Halo, Ra?"

"Anaaa, temani aku shopping keperluan bayi, yuk." Rara masih sama seperti dulu. To the point, tidak pernah merasa perlu berbasa-basi. Dia sedang hamil tujuh bulan sekarang. "Nanti aku jemput di kosmu. Sorean ya. Biar nggak terlalu panas."

Ana melirik jam tangannya. Sekarang pukul dua belas tepat. Masih banyak waktu baginya untuk membeli makan, pulang ke kos, dan menyegarkan diri. "Oke," sahutnya setuju dan menutup telepon tak lama kemudian.

Ana sedang berjalan menuju area parkir, tempat sepeda motornya terparkir, ketika pandangan matanya menangkap sebuah mobil Daihatsu Ayla berwarna hitam. Mirip seperti mobil Rafka.

Ah, mobil begitu kan banyak, Ana! 

Benar. Lagi pula, ada kemungkinan Rafka sudah mengganti mobil. Kesempatan Ana bertemu lagi dengan Rafka sudah nol persen. Dua alasan yang menurut Rafka mampu mempertemukan kembali dua mantan pacar sudah tidak ada bagi mereka. Satu, semua prasangka buruk dan kesalahpahaman sudah diluruskan, yang artinya segala urusan di antara mereka sudah selesai. Dua, mereka bukan jodoh.

Ana menggeleng dan kembali berjalan menuju motornya. Namun, seseorang memanggil namanya. "Ana." Suara pria dewasa. Pria yang keluar dari mobil Daihatsu Ayla itu.

Ana terperangah. Lututnya mendadak lemas. Jantungnya berdebar kencang.
Pria jangkung berkemeja biru tua dengan hidung mancung bengkok itu memang Rafka. 

"Mas Rafka?"

"Assalamualaikum," sapa Rafka begitu tiba di hadapan Ana.

"Wa-wa'alaikumsalam," balas Ana terbata. Mengapa Rafka ada di sini? 

Mata Rafka merekam penampilan Ana. Rambut wanita itu dipotong lebih pendek tetapi masih tetap bisa diikat ekor kuda. Iris mata indah berwarna cokelat tua. Setelan celana panjang dan blus dengan potongan menyilang di dada menonjolkan tubuhnya yang ramping. Ana masih sama seperti yang Rafka ingat.

"Syukurlah ketemu kamu hari ini. Kupikir aku masih harus menunggu sampai besok." 

Ucapan Rafka membuat Ana mengerutkan kening. Dari situ, jelas tersirat bahwa Rafka ada di sini untuk mencarinya. "Kamu menungguku, Mas?"

"Ah, ya… aku memang sengaja datang ke sini untuk mencarimu."

"Kenapa?"

Rafka diam sejenak untuk menarik napas panjang. "Untuk meminta kesempatan kedua."

Permintaan Rafka tentu membuat Ana kaget bukan kepalang. "Maksudmu?"

"Bisa kita bicara di tempat lain?" pinta Rafka. Topik sepenting ini tidak tepat rasanya jika didiskusikan sambil berdiri di tempat parkir kendaraan, berpanas-panas di bawah sinar terik matahari. "Aku mohon."

Love Will Find A Way Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang