39. Meminta Restu

3.2K 593 33
                                    

Rafka meletakkan dua buah cangkir berisi teh hangat ke atas meja dan memandang ragu pada Sundari yang sedang menyiram tanaman yang tumbuh dalam pot-pot kecil di teras samping. Kegiatan rutin sang ibu di sore hari. Perkataan Andra kemarin di rumah sakit telah menyulut tekad Rafka untuk mendekati Ana lagi. Manusia berusaha,  Tuhan yang menentukan. Apakah Ana adalah jodoh yang sudah ditentukan Tuhan untuknya, Rafka tidak tahu. Yang Rafka tahu hanyalah dia harus berusaha. 

Rafka berjalan mendekati Sundari. Dia meraih tangan sang ibu yang tengah memegang alat penyiram dan dengan lembut mengambil piranti tersebut dari genggaman Sundari. "Ma, duduk sebentar,  yuk. Minum teh," ucap Rafka sambil mengedikkan dagu ke arah meja. 

Sundari tersenyum sayang. "Makasih ya, Ka, udah buatin Mama teh." Wanita itu lalu menghampiri meja, duduk di salah satu kursi dan mulai menikmati teh sedangkan Rafka menyimpan alat penyiram di sudut teras. 

"Manisnya udah cukup, Ma?" tanya Rafka. 

"Sudah. Enak kok. Manisnya pas," jawab Sundari seraya tersenyum. Namun,  senyum itu berangsur hilang saat melihat raut muka anak lelakinya. "Ono opo tho? Wajahmu serius banget, Ka. Ada masalah?"

Rafka menggeleng. "Nggak ada masalah, Ma, tapi ada yang ingin aku bicarakan dengan Mama." Rafka menjeda. "Tempo hari, Mama kan bilang bahwa Mama ingin agar aku menikah…" Jeda lagi. " … sebenarnya aku sudah lama mencintai seseorang, Ma."

"Lha kabar bagus begitu kok disampaikan dengan wajah tertekuk. Siapa perempuan itu? Kenapa nggak pernah dikenalin sama Mama?"

"Namanya Audreana Rarasati."

"Namanya bagus," puji Sundari.

Rafka tersenyum kaku. Semoga pujian ibunya pada nama lengkap Ana merupakan pertanda bagus. "Panggilannya Ana. Dia dulu pernah mengajar di SMP Sahwahita."

"Dulu?" Kening Sundari berkerut saat ia kembali menyeruput tehnya. "Sekarang sudah keluar, opo piye?"

"Ana resign untuk lanjut S2 di Semarang."

Sundari manggut-manggut. "Oh, ngono. Nggak apa-apa. Namanya kuliah memang harus fokus. Ana orang mana, Ka?"

"Ibunya tinggal di Purwokerto, Ma. Ana anak tunggal. Ayahnya meninggal saat Ana lulus SMA."

Sekarang raut wajah Sundari berubah sendu, teringat almarhum suaminya. Ternyata calon besannya pun bernasib sama. "Sejak kapan kalian pacaran? Kok Mama nggak pernah tahu kamu sudah punya calon."

"Aku dan Ana sudah putus, Ma."

"Piye tho? Mama jadi bingung. Kamu bilang,  kamu suka Ana, tapi kok sekarang kamu bilang kalian putus?"

"Aku dan Ana pernah pacaran dulu. Karena kesalahpahaman, aku mutusin dia. Tapi aku masih mencintainya, Ma. Sangat."

"Kesalahpahaman apa?"

Rafka menarik napas panjang, menghimpun kekuatan. Ia sudah bertekad untuk tidak menyebut nama Freya beserta tindakan gadis itu. "Ma, ada satu hal yang harus Mama tahu tentang Ana."

Nada muram dalam suara Rafka seketika membuat hati Sundari dihinggapi cemas. "Apa? Bilang saja, Ka."

Rafka menghitung sampai tiga di dalam hati, lalu pelan-pelan dia menyampaikan, "Ana adalah penyintas pelecehan seksual. Dia pernah diperkosa saat SMA."

Informasi itu bagaikan bom yang dilemparkan ke pangkuan Sundari. Wanita itu seketika berdiri, kaget bukan kepalang. Syok. "Astaghfirullah," sebutnya sambil mengelus dada. "Rafka, kenapa kamu terlibat dengan gadis bermasalah seperti itu? Koyo wis ra ono sing liyane."

Hati Rafka mencelus. "Gadis bermasalah gimana, Ma? Ana wanita cerdas dan tangguh."

"Dia pernah diperkosa, Ka! Ada laki-laki yang pernah menyentuhnya! Dia sudah nggak suci!"

Love Will Find A Way Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang