4

707 21 0
                                    

     Ku buka mataku perlahan ketika terdengar alarm berbunyi. Ku pandang langit-langit kamar yang berwarna putih dan terdapat bintang-bintang berwarna-warni, yang sengaja di pasang saat pesantren mengadakan lomba kamar terbaik.

     Ku tersenyum menikmati anugrah Allah. 'Alhamdulillah Ya Allah, Engkau masih memberi hambaMu yang hina dan bodoh ini umur panjang untuk menuntut ilmu'.

     Ku tengok Sitta yang masih tertidur lelap di sampingku. Ku bangunkan ia, dan bergegas berwudlu untuk menunaikan kewajiban sholat sebagai umat islam.

     Tak terasa dua tahun berlalu, suka duka ku alami saat menuntut ilmu di Penjara suci ini.
Abah dan Umi, begitu kami memanggil pemilik pesantren ini. Beliau adalah orang tua kami selama berada di Pesantren ini.
Kami, para santri begitu menghormati dan menyayangi beliau seperti orang tua kami sendiri.

     Seperti biasa, seusai melaksanakan sholat, kami melaksanakan rutinitas sehari-hari, yang terkadang membuatku jenuh, tapi tidak untuk hari ini.
Sabtu adalah hari yang paling aku suka, karena tiap hari sabtu lah aku dapat bertatap muka secara langsung dengan Abah, sosok yang sangat aku kagumi.

     Entah mengapa, pagi hari ini sangat berbeda dengan sabtu-sabtu sebelumnya. Ahh, mungkin hanya perasaanku saja. Hari ini waktunya kami ta'lim dengan Abah.

     Tak seperti biasanya, kali ini Abah datang terlambat dan dibantu dengan kedua putranya beliau duduk di mimbar. Kami menangis pilu menyaksikan kejadian ini.
Aku yang duduk di barisan paling depan dapat melihat dengan jelas wajah pucat Abah.

"Maafkan Abah anak-anakku, hari ini Abah terlambat. Abah sedang tak enak badan. Tapi Abah tidak apa-apa" ujar beliau berusaha menenangkan kami.

     Saat beliau menerangkan materi, jelas sekali wajah beliau menahan rasa sakit. Andai saja bisa, ingin sekali ku gantikan rasa sakit itu dengan ku.

"Anak-anakku yang di rahmati Allah, jika esok hari Abah tak lagi dapat berdiri di hadapan kalian, tak lagi dapat mendampingi kalian dan tak dapat lagi mendidik kalian, kalian tetaplah harus semangat dalam tholabul 'ilmi. Abah ingin anak-anak Abah menjadi orang hebat, sukses dan berhasil. Dan jika usia Abah cukup sampai di sini, Abah ingin kalian mengenang saat hari lahir Abah, bukan saat hari akhir Abah. Abah ingin melihat senyum, bukan air mata" pesan Abah saat akhir ta'lim.

     Kami semua terisak mendengar pesan beliau. Lalu beliau berdiri dibantu kedua putranya yang setia menanti dan mendampingi beliau.

     Baru beberapa langkah beliau meninggalkan mimbar, beliau jatuh tersungkur.

"Innalillahi" teriak para santri bersamaan.

     Di bantu beberapa santri, Abah di larikan ke rumah sakit.
Ku lihat para santri  menangis sejadi-jadinya, termasuk aku.
Beberapa santriwati jatuh pingsan.

     Tiba-tiba ku rasa bagai di ruang kedap udara, dadaku begitu sesak, terasa angin yang sangat dingin menyusup melalui ubun-ubun, menusuk pada semua tulang dan membekukan aliran darah.
Tak dapat lagi ku rasakan tubuh ini, secara perlahan semuanya menjadi gelap dan aku pun jatuh pingsan.

"Allahu Akbar, Nabila, kamu kenapa" kata Sitta yang menangkap tubuhku saatku terjatuh sambil beruraian air mata.

     Dengan bentuan beberapa santriwati aku dan santriwati yang jatuh pingsan di bawa ke Poskestren.

Penjara Suci ( Pesantren Oh Pesantren )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang