Ku buka mataku secara perlahan, rasa pusing masih mendera di kepalaku. Sosok Sitta setia menunggui ku dengan beruraian air mata.
"Alhamdulillah akhirnya kamu siuman juga" katanya sambil memelukku.
"Aku khawatir, kamu pingsan dari tadi, belum sadar juga" katanya yang semakin erat memelukku. Ku balas tak kalah erat pelukan sahabatku itu."Aku pingin ke kamar" kataku
"Apa kamu sudah sehat ?" tanyanya khawatir
"Iya aku udah nggak apa-apa" kataku sambil tersenyum
"Kamu istirahat aja ya" katanya
"Nggak Sitta, aku udah sehat, aku mau ikut ta'lim" kataku sambil berjalan menuju Toha, tempat kami mengikuti ta'lim.
"Hari ini ta'lim libur, karena kondisi Abah yang belum memungkinkan" jelas Sitta.Kata-kata Sitta bagai sekarung semen yang jatuh dari langit dan mengena tepat di atas kepalaku, aku pun terduduk lemah di tengah lapangan basket. Ku pandang sekeliling, terlihat jelas tak ada aktifitas apapun yang dilakukan para santriwati.
Ku lihat langit begitu mendung, burung-burung tak seriang biasanya, ku pandang hamparan sawah yang luas nan hijau itu. Udara sejuk di pagi hari, angin sepoi menyapu pelan wajahku. Pikiranku melayang menembus jauh ke awang-awang, kembali teringat kejadian dimana Abah menyerah dengan penyakitnya.
Pengumuman dari pusat membuyarkan lamunanku.
"Perhatian untuk seluruh santri, hari ini menjadi hari duka untuk kita semua. Pagi ini, tepat pukul 05.30 Abah kembali kepangkuanNya. Dan untuk seluruh santri harap berkumpul di Toha untuk melaksanakan doa bersama".
Terdengar seluruh santri menangis, banyak santriwati jatuh pingsan, Sitta memegangku erat-erat sambil menangis.
Ku pandang langit, tetes demi tetes air hujan mulai turun, kicauan burung-burung terdengar bagai lagu kematian, angin, bunga, semuanya terlihat turut bersedih dan berduka atas meninggalnya Abah.
Sitta berusa mengajakku ke kamar untuk berteduh, tapi tubuh ini enggan untuk bergeser dari tempatnya.
"Ya Allah, mengapa Engkau memanggil Abah secepat ini. Aku belum sempat membalas jasa beliau Ya Allah" teriakku dalam derasnya air hujan dan gemuruh angin.
Sitta menangis makin menjadi-jadi melihatku seperti ini.
"Nabila, udah. Ikhlasin Abah, kamu jangan begini, Abah akan kecewa jika kamu begini" katanya sambil terisak-isak.
Beberapa santri turut membantu menenangkan ku. Tapi semuanya sia-sia.
Seorang ustdzah yang mengetahui hal ini turut membantu, diangkatnya aku secara paksa dengan bantuan Sitta dan beberapa santriwati menuju kelas XI IPS 1 yang letaknya berhadapan tepat dengan lapangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penjara Suci ( Pesantren Oh Pesantren )
Short StoryPersahabatan, kekeluargaan, peraturan dan hukuman. Susah senang, lika liku perjalanan hidup di pesantren.