Live With A Bad Boy | 16

79.8K 3.8K 3
                                    

Aresha menatap cemas pada Dehaan, tangannya gemetar, sementara ia masih bisa mendengar suara Kaila yang bersumber dari ponselnya yang tengah digenggam Dehaan.

"Bukan siapa-siapa!" jawab Aresha gugup.

Dehaan menautkan alisnya, ia semakin bingung. Jadi Dehaan memutuskan untuk berlutut hingga pandangan mereka bertemu.

"Siapa?" tanya Dehaan.

Degup jantung Aresha semakin tak terkendali, terutama saat Dehaan terus menerus bertanya. Itu membuat Aresha semakin cemas.

Sementara panggilan telponnya bersama Kaila belum berakhir.

"Balikin hp gue!" ucap Aresha, mengulurkan tangannya dengan gemetar, sementara ia memilih menunduk daripada harus bertatapan dengan Dehaan.

"Lo belum jawab gue, Sha." kata Dehaan.

Segera Dehaan mengakhiri panggilan Aresha dengan Kaila, dan memasukan ponsel itu ke dalam saku celananya. Ia terus menatap Aresha.

"Lo salah denger. Gue gak bilang kata-kata 'tewas' sama sekali." elak Aresha, tanpa menatap Dehaan.

"Gue gak mungkin salah denger, Sha. Gue denger dengan jelas. Lo ngomongnya juga sambil teriak, Sha." kata Dehaan.

Aresha mendorong cowok itu, lalu segera berlari ke luar kamar, dan berusaha keluar dari apartemen. Sementara Dehaan mengejarnya. Aresha baru saja akan membuka pintu, tapi Dehaan sudah terlebih dahulu menariknya untuk duduk di sofa.

"Apaa, Dehaan?!."

Dehaan menatap serius pada cewek itu, Aresha menatap tajam padanya. Sementara Dehaan menatap Aresha dengan tatapan dengan tatapan yang berisi ribuan pertanyaan di matanya, tentang apa saja yang ada pada cewek ini, apa saja, semua yang ada di balik senyuman dan omelan dari bibirnya itu. Ada sesuatu yang aneh.

"Lo kenapa, Sha?. Sejak pulang sekolah tadi lo gak ngomong sepatah kata pun, lo langsung ke kamar. Dan tadi gue denger apa, Sha?!, Siapa yang harusnya tewas waktu itu?" tanya Dehaan.

"Bukan siapa-siapa!!, Jangan tanya-tanya lagi!." kata Aresha.

"Kenapa, Sha?, atau lo itu memang kriminal?"

Mendengar itu, Aresha langsung memberikan tamparan pada cowok itu. Dia benar-benar kecewa, Dehaan juga menuduhnya.

"Lo sama aja ya sama Lia. Kalian cocok banget." kata Aresha kesal.

Segera Aresha berdiri dan melangkah menuju kamar, mengungci pintu dari dalam.

"Aresha!!" panggil Dehaan dari luar kamar, mengetuk pintu kamar berkali-kali.

Aresha hanya diam, ia menatap kosong pada sekeliling kamar. Ia menarik rambutnya sendiri, dan memukul-mukul tubuhnya sendiri.

"Gue bukan kriminal, bukan gue yang ngelakuinnya." ucap Aresha.

Ia berhenti, lalu menyandarkan tubuhnya di pintu, sementara Dehaan masih terus mengetuk pintu dan menyebut-nyebut namanya.

Aresha segera berdiri, mengemasi semua barangnya, lalu segera membuka pintu sembari menarik kedua kopernya. Dehaan berdiri tepat di hadapannya.

"Lo mau kemana, Sha?" tanya Dehaan.

"Pergi. Sebelum lo ngusir gue, lebih baik gue pergi sekarang." jawab Aresha.

Dehaan mengulurkan tangannya, memegang bahu Aresha, "gu gak akan pernah ngusir elo, Sha."

"Kita gak akan tau, Dehaan. Suatu hari nanti lo pasti ga bakalan mau tinggal sama gue, dan tanda-tandanya udah terlihat juga kok. Lo nuduh gue sebagai kriminal."ucap Aresha lalu memukul pelan bahu Dehaan.

"Gue gak nuduh, Sha. Gue cuma nanya. Ada perbedaan besar di antara itu, Sha."

Aresha mengusap wajahnya, tubuhnya semakin gemetar. "Gue gak peduli."

Aresha berusaha menepis tangan Dehaan dari bahunya, tapi bukannya terlepas, Dehaan malah menariknya dalam sebuah pelukan hangat. Aresha semakin tak kuasa menahan debarannya.

"Sha, kalau lo bukan orang kayak gitu, lo harusnya tenang, Sha." bisik Dehaan.

"Menurutlo sekarang gue gak tenang?" tanya Aresha.

"Lo kelihatan panik, dan itu yang akan membuat semua orang berfikir lo bener-bener kriminal." jawab Dehaan.

Ia mengeratkan pelukannya pada Aresha, sementara Aresha menyadari satu hal. Dehaan benar, ia memang mudah panik, terutama soal hal ini.

"Lo gak perlu takut, karena lo bukan kriminal." kata Dehaan.

Aresha hanya diam, ia hanya menyandarkan kepalanya di bahu cowok itu, tanpa membalas pelukan Dehaan. Ia hanya tidak tahu harus melakukan apa sekarang.

"Aresha, jangan pernah pergi dari sini. Gue udah bilang alasannya 'kan?"

Dehaan melepas pelukannya, menatap Aresha. Cewek itu hanya diam, membalas tatapannya dengan wajah bingung. Setidaknya bukan wajah panik, dan cemas.

"Aresha, jangan diem aja." kata Dehaan.

"Gue harus ngomong apa, Dehaan?" tanya Aresha, "gue bahkan bingung sama diri gue sendiri. Gue bahkan ga bisa tenang, gue selalu ingat semua perkataan Lia, dan itu membuat gue ketakutan."

Ya, tentu saja Aresha ketakutan, dia satu-satunya orang di tempat kejadian peristiwa. Dan fakta itu membuat dirinya lah satu-satunya yang bisa di salahkan dalam kejadian itu.

"Lo gak perlu takut, Sha. Lo bilang lo bukan kriminal 'kan?. Oke. Lupain semuanya." kata Dehaan.

Aresha mengangguk pelan, dan diam-diam ia sangat ingin menceritakan semuanya pada Dehaan. Mungkin di hari lain.

"Makasih, Dehaan." kata Aresha.

Dehaan mengeluarkan ponsel Aresha dari sakunya, lalu memberikannya pada cewek itu. "Gue gak akan nanya yang tadi. Itu bukan urusan gue." ucap Dehaan.

Sebenarnya ia masih penasaran dengan maksud ucapan Aresha di telpon bersama temannya itu. Karena pembicaraan mereka, bukanlah pembicaraan untuk remaja perempuan.

Aresha mengambil ponselnya, Dehaan segera berbalik, namun Aresha segera menahan cowok itu.

"Orang itu temen gue." kata Aresha.

Dehaan menautkan alisnya bingung, "Maksud lo?"

"Jawaban untuk pertanyaan lo, Orang itu adalah temen gue, dan gue benci dia."

Tunggu. Dehaan semakin bingung, jadi orang yang harusnya tewas waktu itu adalah temannya Aresha, dan Aresha benci dia.

Apakah mungkin?. Aresha benar-benar kriminal?.

"Lo boleh telfon polisi sekarang."

-

Don't forget to vote and comment!🖤

Live With A BadBoy✔️[sudah terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang