<< PART 3 >>

80 72 13
                                    

Maaf tidak membuat semuanya kembali seperti sedia kala. Tapi bukankah maaf mampu membuat luka sedikit terobati.

~Lieben~

🍃

Benar dugaan Ara, kuliah itu tak ada beda jauh lah dengan masa sekolah. Sama-sama mendengarkan seseorang yang paham terhadap ilmunya, menjelaskan suatu materi, juga sama-sama melelahkan.

Ini hari pertama aktivitas kuliah bagi Ara dan teman seangkatannya yang lain. Awalnya saja mereka antusias karena penasaran. Sekarang banyak yang mengeluh saat keluar dari kelas masing-masing.

"Eh, kamu." Ara yang tadinya sedang berjalan menuju kafetaria kampus untuk mencari taman-temannya jadi terjeda. Ada seorang yang diduga sebagai dosen kampus tengah memanggil Ara.

"Iya, Pak?" tanya Ara.

"Kamu mahasiswi baru?" tanya pria tambun yang ada di hadapan Ara.

Ara mengangguk, "Iya, Pak."

"Tapi waktu OSPEK kemarin udah diajak menelusuri wilayah kampus, kan?" Ara mengangguk lagi. "Nah, kalau begitu ... tolong kamu antarkan berkas ini ke ruang dosen. Kamu anak FMIPA, kan?"

"Iya, Pak."

"Ya udah, sana antar berkas ini ke ruang dosen, nanti kamu tanya saja di mana meja saya, Agusto." Secara tidak langsung dosen dengan perut buncit itu memperknalkan diri. Setelah sekali lagi memberikan amanah, Pak Agusto pergi meninggalkan Ara yang sedikit kesusahan membawa berkas-berkas yang tadi dititipkan dosen. Padahal sebelumnya Ara juga sudah menenteng tas map. Jadi lah semakin bertembah beban Ara.

Dari posisi Ara sebelumnya menuju ruang dosen lumayan jauh. Satu gedung fakultas saja sudah luas. Konon satu kampus, gimana lagi, coba?

"Sama aja kayak guru gue dulu. Gak tau apa kalau perut gue udah keroncongan?" sayangnya Ara hanya bisa ngedumel dengan kaki yang sesekali dihentak-hentakkan, ataupun menendang krikil kecil. Ingin rasanya tadi Ara menolak. Tapi apalah daya dia harus patuh sama orang yang lebih tua. Kalau melawan dan tidak mau menolong, bisa-bisa Ara dapat karma.

Selesai sudah Ara mengantarkan berkas-berkas titipan dosen tadi. Ara berjalan menuju pintu keluar dengan wajah menunduk dan sedikit memasang wajah memelas. Takut kalau ada dosen lainnya yang ikutan memerintahkan dia.

"Hai, kamu!" Ara berhenti dan terpaku. Pelan-pelan menatap horor ke arah belakang. Wassalam ... bisa jadi pesuruh selama seharian ini gua mah, gumamnya dalam hati.

"I ... iya, Buk?" tanya Ara pada si pemanggil.

"Muka kamu kenapa pucat begitu?" Ara memberikan cengiran terlebih dahulu. Dan sedikit tersenyum bukan karena ingin beramah-ramahan dengan seorang dosen yang ada di dekatnya. Melainkan karena mendapatkan jawaban yang mungkin bisa membebaskannya dari jeratan suruhan para dosen.

"Oh, enggak papa, Bu. Mungkin karena dari pagi tadi saya belum makan." Bohong! Padahal pagi tadi Alvaro memberikan nasgor dua porsi untuk Ara, sebagai ganti rugi nasgor Ara yang tadi malam Alvaro santap.

"Oh."

Buset... tuh dosen cuma bilang 'oh' doang?

"Saya cuma mau nanya aja, kok. Sekarang jam berapa?" Ara menghembuskan napas leganya. Dia pikir akan disuruh lagi.

"Jam dua bel--" Ara menjeda kalimatnya. Ia menatap ke dinding ruangan di belakang. Jam dinding berdetak dengan pas. Jadi untuk apa nih ibu dosen berkerudung ungu nanya ke Ara? "Jam dua belas lewat sebelas, Bu." Ara mulai menyium bau tak sedap.

LiebenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang