2. I'M OKAY

3.9K 292 21
                                    

terjadi, Park Jimin! Kau harus bisa menyeimbangkan antibodi daya tahan tubuhmu dan juga kinerja otakmu serta syarafmu jika tidak semua fungsi itu akan terganggu. Terlebih tekanan darahmu juga semakin menurun. Jangan pernah kau menyepelekan hal kecil karena justru itu akan berakibat fatal!"

Jimin mendengus mana kala pesan-pesan dari dokter spesialisnya terus teriang di otaknya secara teratur.

"Kau mungkin bisa mengabaikan itu semua. Mengabaikan rasa pusingmu dan lambungmu. Tapi, tidakkah kau merasa tidak nyaman? Seokjin sudah benar dalam mengambil tindakan untuk menyuruhmu mengambil rawat jalan. Lakukan dengan teratur sebelum kau justru berpindah ke rawat inap!"

Jimin menghentikan langkahnya. Ia mendongak menatap langit-langit mendung yang diperkirakan mungkin akan turun hujan tapi ia mencoba untuk tidak menghiraukannya. Kepalanya cukup berdenyut nyeri dan ia sudah lelah memikirkan hal-hal yang lebih berat lagi. Ia hanya ingin pulang merebahkan tubuhnya di kasurnya yang empuk.

"Mungkin tidak akan ada tanda-tanda ataupun gejala penyakitmu akan datang itu dikarenakan semua organmu menyatu dan berkembang sehingga langsung mengalami kerusakan. Akan lebih baik jika kau mengobatinya karena beberapa kemungkinan ada satu penyakit yang tak bisa di sembuhkan dan itu bersifat keturunan!"

Jimin sudah tidak tahan. Kenapa suara-suara sialan itu tidak kunjung berhenti? Kenapa selalu ada setiap rangkaian kata yang berwujud kalimat yang benar-benar membuat hatinya semakin tersakiti. Jimin memejamkan kedua matanya sebelum hendak melanjutkan langkahnya.

Akankah aku harus bertahan? Atau menyerah?

Akankah aku harus tetap diam atau memilih untuk berlari?

Bisakah jika aku memilih untuk tetap tinggal dan tetap merasakan sesak ini?

Bisakah aku tetap bertahan untuk melihat bagaimana sekumpulan orang brengsek yang mencoba untuk menghancurkanku?

Atau memang aku ditakdirkan untuk hancur dengan sendirinya?

Ya, itu bahkan lebih baik dibandingkan dihancurkan oleh orang terdekatmu khususnya orang yang sangat kau percaya.

Dan, aku bersyukur tidak ada orang semacam itu di dalam hidupku.

Mata hatiku sudah tertutup sejak lama, sejak mereka memilih untuk menghancurkan semuanya tanpa memperdulikan bagaimana perasaan orang lain.

Egois? Ya mereka egois dan aku lelah menjadi orang baik. Aku lelah dipandang bahwa aku anak yang penurut, anak yang sempurna karena aku lelah memakai topeng 'baik-baik saja' karena aku benar-benar cacat.

Bukan, bukan cacat fisik. Hatiku terbelah menjadi dua. Entah kini terkeping menjadi berapa bagian.

Aku ingin mengadu, aku ingin berkeluh tapi pada siapa? Aku tidak memiliki tempat.

Bahkan, rasa sakit ini terus mengguncangku.

Aku tidak bisa lagi menahannya dan aku sadar jika aku benar-benar sendiri.

Jimin tak peduli jika pandangannya kembali mengabur sepersekian detik. Ia mencoba untuk tetap berjalan di pinggir jalan di atas trotoar pada petang hari. Matahari sudah terbenam beberapa menit yang lalu. Tapi, Jimin memang sengaja memperlambat langkahnya. Ia ragu apakah ia pulang atau tidak? Karena mungkin saja ia tidak diakui di rumah itu sebagaimana seperti kakak laki-lakinya.

"Tidak! Aku tidak akan pulang malam ini! Persetan, jika brengsek itu hendak membunuhku sekalian. Aku sudah tidak takut! Tapi, aku harus kemana?" Jimin berfikir sejenak. "Apa aku harus menghubungi Taehyung?" pikirnya kalut kemudian ia menggeleng cepat. "Tidak-tidak dia pasti sedang mempersiapkan diri untuk masuk ke sekolah kepolisian. Huft! Apa mungkin lebih baik aku menyewa di penginapan saja?" Jimin berfikir sejenak. "Tidak! Jika aku tidak pulang mereka akan terus menganggapku jika aku memang bersalah. Sedangkan aku? Aku tidak pernah melakukan apa-apa!"

SIMPLE PART.-1( ✔✔ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang