▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Oktober, 2018.
Letaknya ada di lantai tiga flat sederhana Distrik Jung, sisi utara Sungai Han. Dianggap sebagai ruangan misterius dan berhantu. Tidak terjamah, tidak seharusnya didekati, dan menakutkan.
Namun, siapa yang tak pernah menilai sesuatu dari sampulnya? Sebab kenyataan malah terbalik.
Seperti kubus penjara artistik, ruangan itu memiliki nilai estetika tinggi berkat beragam seni yang tertempel di penjuru ruangan. Lukisan klasik, lukisan abstrak, lukisan surealis, karya berupa komik, desain karakter, tipografi, hingga coretan asal tanpa makna. Begitu ramai dan menakjubkan.
Rak buku terletak di sisi kiri, jika dilihat dari pintu masuk. Terdapat nakas di sebelahnya serta telepon kabel berusia belasan tahun. Jendelanya mengarah ke lanskap perkotaan, tepat di mana matahari terbit, sehingga cahaya terang menyelusup dan jatuh pada bagian tengah ruangan; meja jati bercat hitam berada di sana, menjadi alas untuk sketsa-sketsa yang berserakan, bersama kuas dan pensil charcoal, serta entah peralatan apa namanya. Sementara memenuhi bagian kosong, buku-buku tertumpuk secara acak; bercampur antara majalah, novel, komik, sketchbook, agenda, hingga koran yang tanggalnya sudah kelewat tua.
Tetapi yang menarik perhatian adalah sketsa kasar pada kanvas berukuran raksasa, tergeletak di lantai. Tampak tegas sekaligus indah. Menampilkan wanita cantik berbaju zirah dengan rambut seindah Rapunzel, mencekal pedang yang begitu mengintimidasi, dan sorot mata tajam seperti elang. Tertulis di sudut kanvas: Artemisia.
Kring...
Kring...
Mendadak telepon kabel nan tua itu berdering, tanpa tahu kalau panggilan tersebut tak akan tersambung. Ruangan ini tidak berpenghuni, debu menumpuk di banyak sudut, laba-laba bahkan sudah menenun rumahnya. Lalu sebelum dering habis, muncul bunyi panjang yang memekikkan telinga.
"Halo? Gyeon, ini aku. Sulit sekali untuk menghubungimu beberapa hari terakhir. Kupikir kamu ada di markas, jadi aku mencari nomor telepon ini dari teman-teman."
Jeda sebentar.
"Bukan hal yang penting, sih. Cuma sedikit khawatir karena sudah hampir dua minggu tidak melihatmu di tempat kerja. Apa kamu masih bersikeras dengan proyek skala dunia 'itu'? Kalau iya, kamu bisa menemuiku. Aku mengenal seseorang."
* * *
Februari, 2019.
Mengunjungi Metropolitan Museum of Art—The Met—adalah impian seluruh pecinta seni di dunia. Bangunan megah berdesain arsitektur khas Romawi Kuno, detail di sana-sini, dan lebih dari dua juta koleksi karya seni menjadikan The Met mustahil untuk dilewatkan. Meski, well, masih kurang familier di telinga masyarakat awam kalau dibandingkan dengan Museum Louvre. Hanya saja, seni adalah seni. Untuk dinikmati dan bukan dicari kelebihan serta kekurangannya.
Jadi, Kim Taehyung sangat bersyukur ketika menerima surel dari Kim satunya—Namjoon. Sebuah pesan berisi undangan plus tiket pesawat dalam format portable document, dengan lampiran potret halaman The Met, dan postscript yang bertuliskan: "Hei, Adik Kim! Mari menelusuri tempat ini bersama!"
Ya ampun, sebuah kejutan!
Kebetulan sekali, Taehyung baru saja mendapat jatah libur dari kantor. Tidak lama. Hanya tiga hari, sebelum ia harus kembali berkutat dengan editing majalah komik yang ditanganinya sejak beberapa bulan lalu.
Ah, benar. Komik itu belum datang, ya?
Tapi, siapa peduli? Taehyung bisa sedikit melupakan komik anonim yang belakangan ini mengusik pikiran, bersiap ke kantor untuk membereskan beberapa hal, dan mulai memilah barang yang akan dibawanya ke Amerika Serikat! Tiket pesawatnya tertanggal 18 Februari dan Taehyung hanya punya waktu kurang dari sehari untuk bersiap!
Kemudian, beberapa hari berlalu. Ketika Taehyung memijakkan kaki pada anak tangga pertama dan netranya mengagumi bangunan The Met yang menjulang tinggi, kegaduhan di sebelah timur menginterupsi. Saat ini adalah dua puluh empat jam sebelum pameran heterogen masyarakat dibuka secara resmi, maka ia mengira bukan hal aneh kalau suasana terlihat heboh. Bisa jadi hanya panitia yang kelewat sibuk atau staf yang harus mempersiapkan ini dan itu. Tetapi begitu wanita berambut blonde berlari panik menghampiri sekelompok orang berkalung kartu identitas, Si Pemuda Kim ikut mengalihkan pandangan secara otomatis.
"Oh, God!" si wanita histeris. "It's her. Artemisia Gentileschi."
Tunggu.
Siapa katanya?
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
KAMU SEDANG MEMBACA
GENTILESCHI
FanfictionSebuah penerbit major di Seoul menerima paket berisi komik anonim setiap dua minggu. Disertai surat ancaman, kantor terpaksa menerbitkannya. Namun siapa sangka, dengan heroine kuat dan topik feminisme yang masih dianggap tabu di Negeri Ginseng, komi...