"Art enables us to find ourselves and lose ourselves at the same time."
- Thomas Merton -
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
2017
Zirah miliknya terbuat dari kulit trenggiling dan dilapisi untaian rantai buatan Bangsa Varangia dengan detail yang luar biasa menakjubkan. Tidak banyak orang menggunakan dua bahan sekaligus pada zaman itu, membuat sang pemilik dipandang tinggi oleh masyarakat setempat. Ratusan bahkan ribuan bunga gladiol akan dilempar bagai hujan tatkala ia melangkah gagah sembari menuntun kuda hitamnya, tiap kembali dari medan perang bersama sejumlah anggota bala tentara kerajaan.
"..."
Sang surya sedang mengantuk saat itu; membiarkan ribuan gladiol menari-nari di udara, berlatar langit sore sewarna selendang sutra oranye milik permaisuri, juga sedikit gelombang biru kehitaman yang sudah bersemangat menaungi negara tersebut. Alam seakan sengaja menyambut sang pemilik zirah unik dengan sedikit cahaya. Supaya tak ada yang tahu bagaimana romannya, supaya tiada yang mengerti bagaimana senyumnya.
"Nak?"
Sebab kalau saja mereka tahu prajurit misterius itu seorang Anak Hawa, sudah jelas ia akan diseret dan dibuat membusuk dalam kandang babi.
"Haewon?"
Zirah kebanggaannya mungkin akan dilepas paksa, menyisakan baret-baret luka di sekujur badan. Gorgetnya ditarik, menciptakan goresan panjang yang seolah bisa membuat leher terputus. Sisa-sisa kain pada tubuhnya berusaha keras melekat sebagai pelindung, tapi malah dicabik buas. Ia akan menjadi setengah telanjang, tak berdaya, kotor, pasrah, penuh darah, dan hanya menjadi santapan babi-babi tak punya adab.
"Nak, kenapa menangis?"
Sementara matanya yang indah dibutakan, ditusuk dengan cakar.
"Haewon? Tolong bangun..."
Bibirnya yang biasa tersenyum telah tercabik, dibungkam dengan sepotong kain berbau busuk.
"Nak? Kumohon bangun!"
Lalu dia hanya bisa membisu.
"Gyeon Haewon!"
Si pemilik nama membuka kelopak mata perlahan, dikejutkan dengan pipi dan punggung tangan yang sudah basah oleh air mata. Ia terduduk sambil menggaruk kepala. Lalu menemukan seorang wanita tua tengah memandang penuh rasa khawatir, netranya seketika melebar.
"I-ibu?"
Haewon buru-buru berdiri dan membungkuk. Sempat ia melirik ke arah jam dinding di atas sana, menyadari kalau siang sudah hampir habis. Sambil tergagap, ia juga merapikan rambut pendeknya menggunakan jemari.
"M-maaf, aku tertidur. Tapi... kelasnya sudah berakhir. Anak-anak sudah pulang. Semua sudah dijemput. Maaf. Tidak akan terulang, aku janji."
Wanita tua itu adalah kepala sekolah, Kim Haesook yang berusia 62 tahun. Beliau memiringkan kepala lantas bergeleng kalem. "Aku belum menegurmu, Nak. Bahkan kalau kamu tertidur saat jam kerja, aku tidak akan marah. Itu pertanda. Tubuhmu memang butuh istirahat."
KAMU SEDANG MEMBACA
GENTILESCHI
Fiksi PenggemarSebuah penerbit major di Seoul menerima paket berisi komik anonim setiap dua minggu. Disertai surat ancaman, kantor terpaksa menerbitkannya. Namun siapa sangka, dengan heroine kuat dan topik feminisme yang masih dianggap tabu di Negeri Ginseng, komi...