"In spite of everything, I shall rise again."
- Vincent Willem van Gogh -
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
2017
Angin berembus menenangkan pagi ini. Di sisi kanan dan kiri trotoar, pepohonan menjulang tinggi dengan begitu banyak sakura dan azalea yang bermekaran. Beberapa tertiup sang bayu, berputar di udara seakan tengah menari, lalu jatuh di tempat-tempat tidak terduga; puncak kepala seorang bocah yang berlarian di taman, bagian bahu dari mantel seorang pemuda, dan bahkan sempat-sempatnya membelai pipi seorang gadis yang menampilkan wajah berseri.
Sejujurnya, pagi ini bisa jadi permulaan hari nan begitu sempurna. Kalau saja tidak ada seorang pun yang memasang wajah cemberut, menguap lebar, menggaruk-garuk kepala, serta mengusap wajah dengan kantong mata menghitam; seperti bagaimana Gyeon Haewon terlihat sekarang.
Gadis itu beberapa kali memijit pangkal hidung. Terus mengambil langkah meski sedikit lambat seraya memanggul drafting tube berukuran cukup besar di bahu sebelah kanan. Setiap sebelas detik, ia menggelengkan kepala. Berharap usaha kecil tersebut bisa membantunya untuk tetap terjaga.
"Cuacanya cerah, deh!"
Tahu-tahu terdengar suara dari sebelah, sosok gadis yang memakai setelan training berwarna merah bata. Di bagian dada sebelah kiri, bordiran rapi membentuk huruf hangul bertuliskan 'Wang Euna'. Sementara latin yang dibaca 'Department of Physical Education' tertera jelas di punggung.
"Kalau aku Putri Disney, sudah pasti para burung berkicau mengelilingiku dan kita mulai bernyanyi bersama! Iya, kan?"
"Tidak. Kalau kamu Putri Disney, aku harap seluruh makhluk hidup di kota ini tuli temporer."
"Temporer?"
"Cuma saat kamu bernyanyi."
"Hm..." Euna manggut-manggut. "Kamu menyebalkan. Sadar, tidak?"
Haewon mengusap wajah untuk mengusir kantuknya. "Sadar. Justru aku heran kenapa kamu baru sadar."
"Benar juga," tawa kecil lolos dari bibir Euna. "Omong-omong, sepertinya aku bakalan pulang terlambat hari ini."
"Kenapa? Mau menimbun sepatu anak-anak senam di tong sampah organik seperti minggu lalu?"
"Mau ke klinik," Euna terbahak sebentar, lalu menunduk dan memperhatikan lututnya. "Belakangan sering terasa nyeri. Jadi kupikir harus segera periksa."
"Sudah bilang pada Bibi, kan?" Haewon mendapati Si Gadis Wang mengangguk singkat. "Ya sudah, aman. Hati-hati saja di kampus nanti. Jangan terlalu banyak tingkah."
"Memang aku sama sepertimu?"
"Huh? Maaf saja. Aku mana pernah salto-salto di tengah lapangan? Silakan berkaca."
"Haha, sudah deh," Euna memutar bola di ujung jari, lantas memasukkan benda bulat itu ke dalam tas jaring dan mengaitkannya pada bahu ransel. Dia meniup poni, kemudian segera berlari kecil ke arah pintu gerbang kereta bawah tanah. "Sampai jumpa di rumah nanti malam, Haewon! Jangan kangen!"
Haewon malah mendecih, mengibaskan rambut sebahunya seraya memutar bola mata. "Ewh."
Sementara Euna makin jauh, ia berbelok dan menyusuri jalan setapak dengan deretan pertokoan. Rasa kantuk yang menyerang sama sekali tak bisa ditolak. Haewon benar-benar rindu kasur. Tapi apa daya, kalau tidak berangkat sekarang, bisa-bisa ia malah tak berkesempatan mampir di kedai untuk sarapan sembari melakukan cross check rekapitulasi nilai.
KAMU SEDANG MEMBACA
GENTILESCHI
FanfictionSebuah penerbit major di Seoul menerima paket berisi komik anonim setiap dua minggu. Disertai surat ancaman, kantor terpaksa menerbitkannya. Namun siapa sangka, dengan heroine kuat dan topik feminisme yang masih dianggap tabu di Negeri Ginseng, komi...