Bagi pembaca lama, silakan dibaca dari awal yaa, karena ada beberapa perubahan hehe Jangan sungkan meninggalkan komentar ya!^^
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
"Kamu tahu nggak kenapa laut berwarna biru?"
Abi mengernyitkan dahi, bingung dengan arah pembicaraan ini, apakah Gita tengah menguji pengetahuannya atau memang tidak tahu jawabannya.
Baru akan menjawab, Gita sudah lebih dahulu buka suara. Kelihatan dodolnya, deh, gue. Batinnya.
"Karena biru warna yang hebat. Di antara semua warna yang dipantulkan oleh cahaya menuju air laut, warna birulah yang lebih banyak dipantulkan dan juga kuat untuk menembus jauh lebih dalam, sementara warna lain yang energinya lebih rendah seperti warna kuning, hijau ataupun merah lebih mudah diserap oleh air." Bagai lautan, iris hitam Gita ikut bersinar terpantul cahaya langit siang itu. "Warna biru punya energi tertinggi dibanding warna lain, dia bisa menembus masuk lebih dalam pada air. Oleh karena itu menurutku warna biru adalah warna yang hebat, aku ingin seperti itu." Imbuhnya.
Abi manggut-manggut, hal semacam itu sebenarnya sudah berada di luar kepalanya. Sebelumnya, Abi memang diharapkan menjadi mahasiswa kedokteran oleh papahnya, namun kandas karena ia lebih memilih untuk mengikuti kata hatinya.
"Aku juga suka laut," jawab Abi, "tapi nggak suka warna biru."
"Kenapa?"
"Karena kalau lihat warna biru, jadi ingat laut."
Gita mengernyitkan dahinya, memutuskan untuk tidak kembali bertanya, yang pastinya akan berputar-putar pada jawaban dan pertanyaan yang sama.
"Nggak mau tanya kenapa?"
"Habis itu kamu jawab dengan 'karena' yang sama lagi?"
Abi tertawa lepas, membuat Gita semakin mengernyit, heran di mana letak kelucuan dari jawabannya barusan.
"Kapan-kapan ke pantai, yuk?" tanya Abi tiba-tiba, yang dibalas deheman singkat oleh Gita. "Bosan ya?" tanpa menunggu jawaban dari yang ditanya, Abi segera berdiri tepat di depan Gita dan mengulurkan tangannya.
"Mau ngapain?"
"Kita nggak mungkin jauh-jauh ke sini buat liatin sungai butek di bawah sana, kan?" Gita memutar kedua bola matanya. "Ayo, atau mau aku gendong?" bukannya membalas uluran tangannya, Gita justru menyikut lutut Abi yang dibalas dengan rintihan.
Tidak ada pembahasan. Hanya Abi yang berjalan mengikuti punggung perempuan di depannya. Sedangkan yang diikuti sendiri tengah melangkah tanpa tujuan.
Kampung yang mereka singgahi sebenarnya adalah pemukiman warga yang sempat kumuh dan disulap menjadi lebih bersih dan lebih indah oleh tangan-tangan para mahasiswa dan warga setempat. Tentu saja, selain rumah-rumah warga yang temboknya dicat warna serasi, di sana hanya ada jalanan-jalanan kecil yang di tiap sisinya akan memanjakan matamu dengan berbagai mural warna-warni dan unik—jalan apapun yang dipilih, akan membawamu ke titik yang sama.
Iya, bukannya memang seperti itu ya? Sejak awal, Bumi diciptakan bulat agat kita tak menemukan kebuntuan. Bintang-bintang berpendar di malam hari agar mampu menuntun mereka yang tersesat. Mau ke mana pun kita pergi, kita akan tetap melihat Bulan yang sama. Kita, manusia, yang hanya sementara ini, sebenarnya hanya berputar-putar membunuh waktu di dunia, yang membedakan adalah apa yang dilakukan.
Sama halnya dengan yang mereka lakukan di Kampung ini.
Gita berhenti tiba-tiba. Sejak masih di ujung jalan, pandangannya tak bisa lepas dari seekor burung putih di dalam sangkar yang kini ada di hadapannya. Bulunya putih bersih, sangat cantik. Namun, amat jelas terlihat, bahwa ia kesepian. Abi yang jadi ikut berhenti, mengikuti arah pandang Gita, mencoba memahami apa yang sedang dipikirkan gadis itu saat ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Titik
Teen FictionIni mungkin cerita tentang kita; kita yang sering merasa bimbang untuk melangkah, meski hanya selangkah, kita yang berusaha memahami perasaan orang lain, tapi tidak dengan perasaan sendiri, kita yang sering menunda untuk jujur, hingga akhirnya berte...