Gita

75 22 32
                                    

Gita menghela napas panjang saat akhirnya bisa kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur. Matanya terasa berat, namun juga terasa bimbang antara ingin terpejam dan tetap terjaga. Dibukanya aplikasi Whatsapp di ponselnya, dan jarinya mengetikkan pesan singkat pada si empu kamar sebelahnya.

'Lagi apa, Ra?' Sent.

Beberapa menit kemudian baru ponselnya kemarin bergetar.

'Lagi menggabut, nih.'

Gita berdecak. Gabut dia bilang? Batin Gita mengatakan hal lain. Ia pun berdiri dan berjalan keluar kamar sepelan mungkin agar tak terdengar langkahnya. Dengan hati-hati, ia membuka sedikit celah korden jendela kamar sebelahnya tersebut. Gelap gulita, seperti biasanya.

"Psstt!!"

"Allahu Akbar!"

"HAHAHAHA!" Gita tertawa puas setelah melihat reaksi sobat karibnya yang amat terkejut itu. Ia berjalan masuk dengan santainya ke kamar tersebut dan menyalakan lampu kamar.

"Woy, ah, ngapain dinyalain, sih!?" Tara, sobat karib Gita sejak awal perkuliahan tersebut, berusaha menghalau sinar lampu kamar dengan kedua lengannya.

"Gelap gini juga, nggak sakit apa itu mata?"

"Kan laptopnya terang,"

"Tetep!"

Gita kembali mengambil posisi di kasur milik Tara, sedangkan si empunya justru sedaritadi duduk di atas meja belajarnya.

Situasi menjadi hening, seperti biasanya kalau Tara sedang berkutat dengan kesibukannya. Di saat-saat biasa, mereka justru akan terlihat seperti anak kembar, atau malah seperti kucing dan tikus.

Merasa tidak nyaman mendiamkan seseorang di kamarnya, Tara pun mematikan laptopnya dan mengambil ponselnya, serta bergabung dengan Gita di atas kasurnya.

"Udah selesai?" tanya Gita bingung karena Tara jadi benar-benar 'gabut'.

"Nggak akan ada selesainya, hahaha."

Gita masih menatap sobatnya yang kini tengah malas-malasan memandang ponselnya, ia tahu betul, tidak ada pesan yang ia tunggu, karena yang akan menghubunginya hanya orang tuanya.

"Ra?" Gita membuka suara pelan.

"Hm?" Tara masih memandangi ponselnya.

Gita agak merasa sedikit ragu, entah kenapa ia sangat ingin membahas kegelisahannya akhir-akhir ini, karena Tara adalah satu dari dua teman dekatnya yang bisa ia ajak bicara tentang hal-hal serius.

"Aku ngapain ya?"

Seperti kesetrum, Tara mengalihkan pandangan ke arah teman terdekatnya tersebut sembari berpikir.

"Hm, don't you have any... passion... about something? Sesuatu yang benar-benar pengen kamu lakukan gitu?" tanya Tara hati-hati. Ia sebenarnya tahu apa yang cocok untuk Gita, ia hanya ingin Gita menemukan hal itu sendiri di dalam dirinya, tanpa interupsi dari orang lain. Sudah seharusnya, ia mulai mencari tahu lebih tentang dirinya sendiri.

Giliran Gita yang berpikir. Wajahnya menengadah ke langit-langit kamar yang putih polos, dengan beberapa sarang laba-laba di sana, seakan jarang dijamah. Seperti itukah diriku? Polos, tanpa warna, tak pernah ditata sampai-sampai tak terurus seperti ini? Batin Gita.

Sejak awal kenal hingga saat ini, banyak hal yang ia lihat pada diri kawan terdekatnya tersebut. Di satu saat, ia merasa dirinya memiliki banyak kesamaan dan merasa bahagia dengan sederhananya bersama Tara. Di saat lainnya, ia merasa dirinya dan diri Tara bagai langit dan bumi, dunia mereka terlalu berbeda, dunia Tara terlalu rumit untuk dipahami apalagi ikut ditinggali oleh orang sepertinya.

Dunia Tara benar-benar terlihat seperti langit, kadang gelap, kadang juga terang. Di saat ia melakukan banyak hal dan mampu menorehkan pencapaian, seakan-akan dunianya begitu terang benderang. Namun, saat ia sedang kalut dengan pikirannya sendiri atau sedang dalam keramaian, dunianya menjadi amat kelam, itu sebabnya ia memilih menghabiskan waktu seharian di kamar kosnya dalam keadaan gelap tanpa cahaya.

Sedangkan dirinya, tak bisa dikatakan terang ataupun gelap. Selalu ada cahaya, namun tak bersinar. Dunianya penuh keramaian orang-orang di sekelilingnya, padat dengan kegiatan kampus, tak pernah sepi dari ajakan main teman-temannya, tapi ia merasa cahaya tersebut begitu remang-remang.

Tara beberapa kali bercerita tentang keluarga, potongan memori masa lalu yang berusaha ia hilangkan, perasaannya yang suram, membuatnya yang terkadang hampir merasa iri, berubah menjadi iba, sekaligus tersentak—karena masa-masa yang mereka lewati nyatanya tak jauh berbeda. Mereka berdua sama-sama remaja yang berjuang keras melewati segudang kesulitan dalam hidup masing-masing.

"Kamu adalah kamu, aku adalah aku. Kamu mungkin bisa mengikuti jejakku, tapi kamu nggak akan bisa membuat jejak yang sama persis dengan milikku. Kamu, punya jejakmu sendiri, Ta. Kita semua diberi penawaran yang sama, pilihannya ada pada kita, mau mengambilnya atau menawarnya. Dan kamu masih menawar itu, sampai-sampai tak mengambil langkah apalagi membuat jejak." Gita tak terkejut lagi. Tara yang cuek bebek itu memang tak pernah benar-benar cuek, di dalam diamnya, ia selalu mempelajari orang-orang di sekiarnya. 'Aku gamau salah menilai orang lagi, Ta. Dikhianati itu melelahkan.' Begitu alasannya saat Gita bertanya alasannya Tara sangat takut bertemu orang-orang baru.

"Aku nggak merasa mendapatkan penawaran, Ra."

"Kamu salah. Bahkan, kalau boleh menawar, aku justru ingin menawar untuk punya hidup kayak kamu. Nggak perlu merasa sendirian, selalu ada teman yang siap membantu dan menghibur, dikenal dan selalu disapa banyak orang, bisa selalu cerita apapun dengan Ibu, selalu ada kakak-kakak yang melindungi dan memperhatikan, dan masih banyak lagi. Tapi, aku nggak menawarnya, aku takut harga yang ku berikan nggak sebanding untuk itu. Aku tahu, aku punya porsi sendiri untuk hal-hal tersebut, dan yang kulakukan adalah mengambil penawaran yang sudah ditujukan buatku."

"Gimana kalau ternyata penawaran yang ditujukan buatku ternyata nggak sehebat milik orang lain?"

"Kamu malah jadikan orang lain sebagai acuan, sih, jelas aja." Tara berdecak sebal karena Gita yang tampak sedang keras kepala. "Aku minta kamu catat yang satu ini ya, kamu, hanya perlu mengenali dirimu lebih dalam. Saat sudah sadar siapa kamu, kamu pasti terkejut seberapa besar penawaran yang Dia berikan buat kamu."

Kenali diri sendiri lebih dalam. Kenali diri sendiri. Diri sendiri. Gita terus mengulang kata-kata tersebut.

"Kok berkaca-kaca, sih!? Emang aku keren banget, ya, barusan?"

Gita melempar Tara dengan boneka yang ada di sampingnya, dan dibalas dengan teriakan dari si empunya.

"Tauk ah, bete, mau ke toilet aja. Bye!" Tara pun keluar kamar, belum sampai lima detik, dirinya muncul lagi dari balik pintu, membuat Tara yang juga baru saja mau melangkah keluar jadi terkejut. "Buruan order makan, kayaknya perutku sakit karena belum diisi, deh."

"Nggak ada duit!" balas Gita.

"Lah, sama kita! Hahahaha, nggak makan dong."

Gita ikut tertawa menanggapi nasib mereka yang tiap harinya selalu ribut soal makanan. Alhasil, dalam upaya menghibur diri, ia mengambil beberapa bungkus mi instan dan beberapa butir telur untuk dimasak untuk makan malam mereka.

TitikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang