SAYANG

7.4K 358 30
                                    

"Puas?"

Dika mengeryit. Ia sedang sibuk mengelap sisa minyak di sekitar bibir menggunakan tissue.

"Apanya?"

"Kamu harusnya lihat, kayak apa kamu makan tadi. Kamu tuh kayak lagi ngidam, tahu nggak?"

"Sialan!"

Rama tergelak. Ia tetap merasa kata-kata umpatan tidak akan pernah cocok keluar dari mulut gadis lembut di depannya. Dia tidak tahu, Dika sering mengumpat dalam hati dan kadang keluar juga di mulut.

"Kenapa? PMS? Banyak tugas? Banyak pikiran kayaknya kamu tuh."

Dika menghela napas. Yang terakhir lebih tepat. Namun, ia memilih diam.

"Nyak belum ngirim jatah bulanan juga? Kan yang kemarin itu bisa kamu pakai dulu ...," lanjut Rama.

"Oh, iya!"

Dika teringat sesuatu. Dikeluarkannya amplop coklat – sialan – dari dalam tas.

Gara-gara amplop ini ia tak nyenyak tidur belakangan ini. Kepala Dika pening seakan tempurungnya mengerut menghimpit seluruh isinya. Sampai kalap ia hari ini memakan sambal super pedas demi menyegarkan pikiran.

Disodorkan benda itu di atas meja, tepat di depan Rama yang menatapnya tak mengerti.

"Nyak udah kirim kemarin. Ini kukembalikan lagi uangnya. Makasih, ya?"

Dika tidak berbohong. Malam sebelumnya ia mendapat notifikasi dari nomor center bank tempatnya menyimpan uang.

Nyak pun mengirim pesan tentang pengiriman uang bulanannya plus permintaan maaf karena terlambat hingga akhir bulan.

Dika mengembalikan uang itu utuh. Termasuk beberapa rupiah yang sempat terpakai kemarin untuk keperluan sehari-hari menyambung hidup.

Rama mengambil amplop coklat di depannya. Ia tahu, tak mungkin Dika meminjam uang hanya untuk menunggu sementara kiriman dari Nyak. Apalagi dengan jumlah cukup besar untuk ukuran anak kos.

Tatapannya beralih lurus ke depan setelah menimangnya sejenak. Tatapan teduh yang hanya ia beri pada Dika seorang.

"Mmm ..., aku ada ide, Yang," katanya tiba-tiba.

"Ide?"

"Ya. Bagaimana kalau kamu pakai uang ini buat modal usaha? Sesuatu yang menghasilkan uang, tapi bisa kamu kerjain sambil kuliah. Jualan apa, begitu. Banyak kan, yang kayak begitu sekarang? Lumayan buat menambah uang jajan. Ya nggak?"

Dika tertegun.

Bukan karena ia tidak terpikir untuk melakukan itu. Ia sering memikirkannya.

Semenjak Bapak meninggal, ekonomi keluarganya memburuk dan membuatnya berpikir keras mencari cara mendapat penghasilan sendiri. Darah pengusaha Bapak juga mengalir pada Dika. Hanya saja ....

"Kalau kamu setuju, ambil lagi uang ini. Kamu tidak harus mengembalikannya sekaligus. Karena aku tahu kamu nggak akan mau terima kalau cuma kukasih, jadi anggap saja ini pinjaman modal yang bisa kamu kembalikan bertahap. Kaya pinjaman uang satu jam cair, itu lho. Bedanya, yang ini nggak pakai jaminan. Hehe ...."

Mau tak mau Dika tersenyum. Kecut. Tanpa jaminan kata dia?

Dika bahkan sedang menjaminkan hatinya.

Menjaminkan hubungannya yang ia sendiri tak tahu akan bertahan sampai kapan.

Rama terlalu baik, terlalu manis, terlalu sayang untuk patah hati kalau ia tahu ....

Rama meraih satu tangan Dika dan meremasnya pelan. Wajahnya sedikit terkejut menyadari tangan Dika dingin. Namun, itu hanya sesaat. Remasannya mungkin mengalirkan sesuatu yang membuat jemari kekasihnya berangsur menghangat.

DUREN KAMPUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang