"<.....>, apa yang kau lakukan melamun di situ. Cepat bawa bahannya ke sini. Tuan kita sedang menunggu."
"Nyonya, aku tidak sedang melamun. Aku sedang mengagumi alat yang sangat luar biasa ini. Mesin jahit ini sangat menarik." Wajah gadis pelayan itu terlihat berbinar-binar melihat mesin jahit tua itu. Entah apa yang sedang dibayangkannya.
"Hah, tahu apa kamu tentang mesin jahit? Pelayan rendahan seperti kamu. Lakukan saja apa yang kau bisa. Sekarang ambil bahan-bahan berkualitas mewah dari gudang. Aku tidak memerintah dua kali kepada pelayanku, <.....>."
"Aduh... iya iya. Aku ambil sekarang. Cerewet sekali sih."
"Astagaaa... apa yang sudah dilakukan oleh diriku di masa sebelumnya sampai mendapatkan pelayan yang kurang ajar sepertimu."
"Hahahaha. Mungkin kau berhutang padaku di masa la... ADUH!!!"
"Ah, maaf. Kamu tidak apa-apa, Nona?" Seseorang bertubuh besar dengan pakaian mewah berdiri di hadapannya. Baru sekilas melihatnya saja, gadis pelayan itu langsung tahu dia adalah Tuan Kaya yang dimaksud oleh majikannya tersebut.
"Ti-tidak ap..." Gadis itu tidak melanjutkan perkataannya. Kesadarannya telah kembali. Harusnya saat ini dan detik ini juga dia bersujud memohon pengampunan dari Tuan Kaya di hadapannya. Jelas-jelas dia yang telah menabraknya.
"Tuan, apakah Anda terluka? Oh maafkan saya... pelayanku sungguh tidak tahu aturan. Dia hanyalah anak yang berasal dari kasta bawah."
"Tenang saja, Nyonya Alamri. Aku tidak terluka sedikitpun. Aku yang salah karena tiba-tiba datang ke sini. Tapi, maafkan saya, Nyonya. Mungkin kita harus menunda urusan kita. Aku harus segera pergi."
"A-apa... ta-tapi.. bahannya..."
"Aku bisa kembali membelinya lain kali. Tapi aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa, Nyonya Alamri." Tuan itu buru-buru pergi seperti ada yang memburunya.
"Tu-tunggu... Tuaan!!" Nyonya Alamri menyusul Tuan Kaya itu yang bergegas pergi.
Dan gadis pelayan itu sadar, dia telah melakukan sebuah kesalahan besar.
--------------------------------------------------------
Charity POV
Setelah kejadian beberapa hari yang lalu, Greed melakukan rutinitasnya seperti biasa. Kontrak tidak tertulis kami masih berlaku, dia masih mengambil pekerjaanku sebagai pemimpin di "Akram Foundation" setelah ia kalah dalam pertarungan bisnis kami tempo hari. Aku sendiri yang memintanya tapi Greed juga tidak menolak dengan pekerjaan itu, meski sebenarnya persetujuannya memang berdasarkan pemenuhan satu permintaan dari pihak yang menang kepada pihak yang kalah.
Tapi, saat aku mengatakan "rutinitas biasa"-nya, sebenarnya itu tidak termasuk dengan perlakuan dinginnya kepadaku. Ya. Sejak hari itu, Greed tidak pernah berbicara kepadaku barang sepatah kata pun. Aku mengerti alasan di balik kemarahannya tersebut karena sikapku yang mungkin sudah kelewatan baginya. Tapi, dibandingkan dengan perlakuannya kepada Mido kemarin, dua hal itu sungguh berada dalam konteks yang berbeda. Bercandaan para dosa memang berada di lain dimensi.
Aku menghembuskan napas berat. Mungkin nyawa manusia memang tidak lebih berharga dari timbunan harta emasnya. "Padahal aku kira kamu telah memahaminya..."
"Memahami apa, Kak?" Mido yang tiba-tiba berada di sampingku bersuara. Ia seperti biasanya dipapah oleh Neith. Oh, sepertinya aku tidak sadar telah menyuarakan pikiranku barusan.
"Bukan apa-apa." Aku langsung melemparkan senyum kepada mereka berdua. "Ada apa kemari? Pekerjaan kalian sudah selesai?"
"Ini waktu makan siang loh, Kak. Kak Ava yang menyuruh kami untuk istirahat makan." Kata Neith.