Greed POV
"Wah..." seru Charity tiba-tiba saat aku keluar dari kamar. Matanya tidak berhenti menatapku takjub.
"Kenapa? Kamu sendiri yang menyuruhku memakai baju gembel ini," kataku pedas sambil menunjuk-nunjuk baju belel yang sekarang sedang membungkusi tubuhku. Tidak kusangka akan datang hari di mana aku harus memakai baju-baju yang terlihat sangat murahan seperti ini. Tapi Si Gembel ini bersikeras memaksaku memakai baju-baju ini selama perjalanan kami ke kota. Pakaian mahalmu terlalu menarik perhatian, katanya.
"Aku kaget aja kamu bisa kelihatan 'lain' saat memakai baju normal seperti itu," kata Charity.
"Aku tidak butuh pujian."
"Aku tidak sedang memujimu, kok."
Kejengkelanku bertambah 1 juta poin roh. "Penampilanmu sendiri bahkan tidak ada bedanya dengan manusia pribumi. Roh maca-"
Perkataanku langsung terputus karena sesuatu langsung mendarat tepat di wajahku. Dengan penuh kejengkelan yang mendarah daging, kutarik benda sialan itu dari wajahku. Sebuah kain panjang berwarna kuning.
"Sudah kuperingatkan dari kemarin. Jangan bicara sembarangan. Kamu tidak mau kan kita dibakar hidup-hidup di tempat ini?" kata Charity. Ia kemudian menunjuk kain yang dilemparnya tadi kepadaku. "Pakai itu di kepalamu. Kita berangkat sekarang."
"Berhenti menyuruhku memakai sampah begini." Kataku sambil memegang kain itu dengan ogah-ogahan. Kain itu berbau lepek, seribu kali lebih jelek dari kain yang kupakai sekarang. Aku sangat tidak senang jika harus memakainya.
Charity hanya menghembuskan napas beratnya. Mungkin ia sudah kelelahan meladeniku yang sejak dari tadi tidak berhenti meracau gara-gara baju-baju belel yang ditawarkannya itu. Ia mendekatiku dan berkata, "Ya sudah. Kalau kamu memang ingin kepalamu terpanggang selama perjalanan, aku tidak akan memaksa."
Charity kemudian menarik kain kuning yang kupegang, yang dengan spontannya kutahan dengan erat. Dan roh di hadapanku ini sedang tersenyum penuh kemenangan.
Aku langsung menarik kain itu keluar dari genggamannya dan melingkarkannya menutupi kepalaku. "Aku kan tidak bilang tidak akan memakainya. Ayo pergi!" Aku mendahuluinya pergi ke depan.
Sesampainya di depan, dua ekor unta sudah berjajar rapi yang masing-masing kekangannya dipegang oleh dua orang pekerja. Aku tidak mengenal nama mereka, dan aku juga tidak peduli. Panggil saja Si Gendut dan Si Kurus.
Eh, tunggu... unta? UNTA??? Memangnya di sini tidak ada mobil? Dilihat dari sifat murahannya, pasti kami berdua harus memakai hewan-hewan itu untuk perjalanan kami.
"Itu bisa dinaiki?" Tanyaku kepada Charity yang sudah berada di sampingku. Dia sudah hendak mengambil alih tali kekangan dari Si Kurus tapi berhenti saat mendengarku. "Aku tidak meminta mobil sedan mewah yang sudah jelas tidak bisa kau beli, tapi setidaknya ada satu jenis kendaraan beroda empat di tempat ini yang bisa kita naiki daripada menaiki itu."
"Jalan kaki juga bisa kok."
"Perjalanan ke sana berapa lama?"
"Setengah hari.... dengan kecepatan unta sehat."
"Kamu gila? Kamu mau membunuhku yaa?"
"Ya makanya... naik saja. Kita tidak punya mobil di sini."
Charity langsung menaiki salah satu unta di depannya tanpa memberiku kesempatan untuk menolak. Aku? Mau tidak mau mengikutinya menaiki unta yang satunya lagi. Aku sedikit mengalami kesulitan karena unta sialan ini tidak berhenti bergerak. Apa-apaan ini? Kenapa unta milikku seperti mengalami gangguan pikiran seperti ini? Aku menoleh kepada Charity, tapi dia hanya menatapku diam.