Aku terus berlari menembus padang pasir yang tak berujung ini. Lari. Lari. LARI. Sepenggal kata itulah yang terus diteriaki oleh otakku setelah beberapa saat lalu melihat sesuatu yang mengerikan. Aku harus terus berlari. Bertemu saudara-saudaraku yang lain. Bertemu setiap roh yang bisa kutemui. Sebelum monster itu berhasil menemukanku.
Entah sudah berapa jam aku berlari terus sehingga kakiku mengalami kesemutan tiada tara dan otakku dihinggapi oleh sakit kepala yang hebat. Terik matahari tidak menaruh kasihan padaku. Aku ingin menangis meraung-raung di tengah gurun ini, tapi menyadari tidak ada keuntungan yang bisa kudapatkan dari kadar air mata yang terbuang percuma yang malah akan lebih membuatku dehidrasi di tengah neraka gurun, menghentikan butiran air mataku untuk jatuh. Aku harus kuat. Aku harus bertahan. Demi diriku sendiri. Demi saudara-saudaraku yang sekarang terancam bahaya.
Tapi tubuh lemah ini telah melewati batasnya. Perlahan-lahan langkah kakiku yang berlari kecil menjadi langkah gontai yang akhirnya berujung dengan tubuhku yang ambruk. Aku tak sanggup lagi melangkahkan kaki. Sialan. Sialan. Sialan. Aku merindukan tubuh robotku yang perkasa dan bukannya tubuh manusia jelek yang rapuh ini.
Aku mencoba merapalkan mantra lagi untuk membuat portal ke mana saja dengan mengais-ngais sisa tenaga yang kumiliki. Tapi tetap tak ada yang terjadi, sama seperti sebelum-sebelumnya. Aku tidak bisa membuat portal sialan itu.
"BRENGSEK!!!" Teriakku frustasi sambil membenamkan wajah dan memukul-mukulkan lenganku di atas pasir yang kasar.
Tiba-tiba sebuah tangan menghentikan lenganku dan meraih wajahku yang terkubur di lautan pasir. Tapi saat melihat siapa orang itu malah membuatku ingin meludahinya saja.
Monster itu.
Rivalku.
Charity.
Sekelebat ingatan yang kulihat di gudang itu kembali terngiang dalam otakku. Tabung-tabung itu. Para roh yang entah siapa tak kukenali. Atau mungkin yang pernah kukenal sebelumnya, tapi aku telah melupakan mereka. Sebagian berada dalam tabung. Sebagian lagi tidak, tapi aku merasa mereka pasti akan segera mendapatkan tabung mereka sendiri-sendiri untuk waktu yang tidak akan lama.
Aku berusaha melepaskan diri dari Charity sebisa tenagaku mengizinkan. Karena sebenarnya aku memang sudah kepayahan bahkan untuk bergerak barang se-inchi pun.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku dari tangan busukmu. Lepaskan aku, dasar monster pengikut Witchcraft," kataku berang. Aku benar-benar tidak sudi disentuh oleh monster ini. Tidak lagi.
Tapi Charity, dia menampakkan ekspresi yang tidak kuduga akan dikeluarkannya. Dia tampak... terluka. Berani sekali dia. Yang harusnya terluka itu mestinya aku karena telah ditipu mentah-mentah oleh monster ini.
"Kamu sekarat. Ayo kembali ke desa. Aku harus mengobati luka-lukamu," kata Charity sambil memperhatikan luka di pahaku yang ternyata semakin berdarah. Oh, aku ternyata terluka. Pasti dari pertarungan kami sebelumnya. Setelah aku menyadari tubuhku yang terluka, nyerinya semakin menyakitiku. Aku meringis kesakitan.
"Tidak. Biarkan aku di sini. Lebih baik aku mati kekeringan di tengah gurun daripada kembali ke tempat itu. Kenapa? Koleksi tabungmu kurang banyak? Hah?" Sergahku habis-habisan. Aku kali ini hanya bisa menyerangnya dengan kata-kata. Dasar aku yang kasihan.
"Kamu sendiri yang paling tahu, aku tidak mungkin menyakitimu, Greed."
"Wah, luka-luka ini berarti hanya ilusi."
"Yang tadi beringas menyerangku kan kamu sendiri sehingga skill pasifku aktif," katanya datar. "Sekarang ayo berdiri. Kita pulang."
"Lepaskan aku... lepaskan!!!" Aku meronta-ronta menolak Charity yang sekarang tengah membantuku bangkit untuk duduk. Betapa aku membencinya. "Biarkan aku pergi!"