Medicine.

42 8 0
                                    

Seoul, Korea Selatan.
22 Maret 2016.

"TIDAKK!"
.
.
.
.
.
.

Pukul 5.15 pagi, waktu yang selalu ku hindari sejak kejadian itu, walaupun aku tidak tahu harus bagaimana menghindarinya. Aku selalu berharap matahari cepat terbit. Sudah lama, aku tidak terbangun di pukul 5.15. Mungkin sekitar 3 tahun yang lalu.

Aku mengusap peluh yang berjatuhan dari dahi ku sambil menetralkan degupan jantungku yang berdetak dengan liar. Rasa nyeri mulai menyerang kepalaku, membuat penglihatanku sedikit buram. Aku sangat tidak menyukai apa yang ku rasakan saat ini.

Berusaha untuk turun dari ranjang yang seharusnya dapat menenangkanku, masuk ke dalam kamar mandi. Membuka lemari yang berada di atas wastafel, ku raba-mencari sesuatu yang dapat mengatasi rasa sakit ini.

Botol kaca yang isinya hanya tinggal beberapa tablet, berada di genggamanku. Ku buka tutupnya, mengambil 2 tablet berwarna putih tersebut dan menyisakan 1 tablet. Aku hanya di perbolehkan untuk mengonsumsi 2 tablet, tidak lebih- Aku masih menyayangi nyawa ku-Lalu menelan kedua tablet itu secara bersamaan.

Aku kembali ke tempat tidur ku, meraih segelas air putih yang selalu ku sediakan di atas nakas lalu meminumnya sampai habis. Rasa nyeri yang ada di kepalaku berangsur membaik. Aku bernafas lega akan itu. Kali ini tidak sesakit yang dulu.

Jika kalian mengira bahwa aku memiliki penyakit yang mematikan, tidak itu tidak benar. Aku tidak memiliki penyakit apapun. Daya tahan tubuhku sangat kuat. Aku hanya mengonsumsinya sesekali, ya hanya pada saat aku terbangun di pukul 5.15 pagi, seperti saat ini.

Aku harus menelepon dokter Namjoon. Aku mengambil telepon genggam ku yang berada di samping bantal, mencari kontak yang bernamakan Namjoon Kim. Tepat di deringan ketiga, suara yang berat itu menyapa ku.

'Sudah cukup lama kamu tidak menghubungiku. Kumat?'

"Pertanyaan mu itu seperti aku mengalami penyakit yang sangat serius, Dok", Ia memang seorang dokter yang tidak berperasaan. Kami memang sangat dekat-mungkin atau hanya aku saja yang beranggapan seperti itu.

Dia seorang Psikiater yang benar-benar pintar. Yahh.. Hampir setara denganku. Sudah sekitar 9 tahun dia menangani ku. Jadi aku menganggapnya sebagai Gege angkatku, walaupun dia tidak.

'Hahaha.. Penyakitmu itu memang sangat serius, nak. Penyakit 'susah move on' ' , lihatlah bahkan pasiennya sedang kumat, dia masih bisa bercanda.

"Jika aku adalah guru mu, maka aku tidak akan meluluskanmu"

'Heii.. Jangan sensi begitu. Teringat dengan dirinya?'

"Bahkan di setiap harinya. Hari ini aku memimpikan kejadian itu kembali"

'Benar-benar. Seperti tidak ada saja manusia yang lain di dunia ini. Apa kau sudah meminum obatmu?'

"Tentu saja ada. Dirimu kan manusia, Dok. Tenang lah, aku sudah meminumnya dan tersisa 1 butir"

'Hei.. Aku masih normal jangan ganggu aku. Kau terlalu frontal, nak. Baguslah, datang saja ke rumahku di sore hari, sekaligus aku mengajakmu untuk makan malam' , ya, dia tahu sekaualitas diriku yang sebenarnya. Aku selalu menceritakan semua keluh kesah ku padanya dan dia akan mendengarkan dengan baik juga dia akan memberi saran.

EuphoriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang