EPS 3

16K 329 7
                                    

MIRNA

Telepon genggamku tiba – tiba berbunyi, si kampret Arie tiba – tiba menelepon.

"Kampret, apaan sih tiba – tiba nelpon." Kataku kesal. "Gagal sudah usaha ijk buat motion Lana sama Bos."

"Dengerin dulu napa mbak, sabaaar. Tarik nafas buang nafaaas," kata Arie ditelepon.

"Ish dari dulu juga namanya napas ditarik terus dibuang. Apa apaaa lo mau ngomong apa?"

"Ga usah nge-gas gitu napa."

Aku menghela nafas, " iyeee. Apaaa? Ada berita apa kakak seperguruan?"

"Widih kita udah kayak pilem – pilem silat yah ck ck ck," Arie berdecak.

Bocah ini sengaja membuatku kesal. "Bahlul ente, mau ngomong apa buruaan."

"Bapake tadi beli karet mbak."

"Hah? Karet? Terus lo nelpon gue cuman mau ngabarin tuh bapak beli karet."

"Nah ini ngatain eyke bahlul, tapi sendirinya malah lebih parah."

"Karet apa sih ngomong yang jelaaas," kugaruk – garuk kepalaku yang ga gatal saking frustasinya.

"Karet yang rasa – rasa ituloh mbaaak. Masa sih mbak ga paham juga?" Aku bisa membayangkan Arie menepok jidat sambil geleng – geleng kepala.

"Astaghfirulloh. Oalaaah. Bapaknya beli k*nd*m." Sekarang giliranku yang menepuk jidatku sendiri.

"Pinter, tuh paham." Kalo Arie ada didekatku, pasti aku udah ditoyor.

LANA

Flashback

Aku baru saja membuka pintu ruang sekretaris, ketika mendengar suara Pak Arfan bergema dari dalam ruangan, nampaknya ia marah. Karena pintu ruangannya tidak tertutup rapat aku bisa mendengar apa yang mereke bicarakan dengan jelas.

"Pak Yudi, pokoknya saya tidak mau tahu ganti Lana sekarang juga."

"Aduh Pak Arfan, posisi kita ini sekarang sedang kekurangan pegawai Pak. Mohon bapak bersabar sedikit, sambil menunggu rekrutan D1 yang mau masuk beberapa bulan lagi." Pak Yudi menjawab, nada suaranya pelan dan berhati – hati

Pak Arfan sendiri bukan orang yang suka dibantah, apa yang dia mau harus bisa dan diusahakan untuk dikerjakan.

Sementara aku, aku hanya bisa terdiam mematung. Terlalu terkejut untuk bergerak. I think I am capable of whatever work he gave it to me, but I guess that's not enough. I thought our professional relationship is getting better dengan kejadian kotak tisu kemaren. I guess he still had a bad blood for me. Berjuta pikiran berkecamuk silih berganti di otakku.

"Pokoknya saya tidak mau tahu Pak Yudi, bagaimanapun caranya kamu harus cari penggantinya Lana. Segera !!!"

Dan tiba – tiba pintu ruangan manajer terbuka lebar, sehingga aku harus berhadapan dengan Pak Arfan dan Pak Yudi. Wajah mereka shock, demikian juga aku. Segera aku menguasai diri.

"Pak Yudi ini presentasi untuk raker yang diminta Pak Arfan kemaren, sudah saya bikin lengkap semua power point dan data – datanya." Kataku sambil mengulurkan flashdisk yang langsung diterima oleh Pak Yudi.

"Eh...Makasih ya." Kata Pak Yudi pelan.

Aku segera berlalu meninggalkan ruang sekretaris dan berjalan menuju ruanganku sendiri, tanpa terasa air mataku sudah meleleh menjadi sungai kecil di mataku.

Teman – teman perempuanku sibuk menghibur ketika tahu aku kembali ke ruangan sambil menangis. Fitri yang mengusap – ngusap punggungku dan Yani yang mengambilkanku minum. Mereka mendengarkanku bercerita tentang Pak Arfan sambil memintaku bersabar.

Office Hours Affair (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang