Prolog

216 10 2
                                    

      Jam di dinding kamar sudah menunjukan pukul 10 malam, waktu yang tepat untuk beristirahat sejenak, melepas penat dan memulai aktivitas lagi di esok hari.

Tapi berbeda untuk wanita remaja yang masih asik memamerkan senyumnya sambil menatap langit malam ini. Ia adalah Fuji. Obsesinya terhadap karya indah tuhan yaitu bintang, membuat dia menyebut dirinya sebagai “Angel Star”.

Bukan, bukan karena ingin sok eksis, tapi karena memang ia sangat menyukai bintang. Seperti saat ini, fuji bahkan tidak memperdulikan dinginnya angin malam yang sesekali membuatnya mengigil kedinginan.

Fuji tersenyum menatap hamparan langit bertabur bintang. Baginya bintang itu indah, apalagi ditambah dia yang selalu berhayal jika suatu saat, akan ada satu pangeran tampan yang akan mengajaknya menari di bawah bintang bintang yang indah itu.

Bintang adalah karya indah tuhan, detik dimana tuhan mampu melukis langit malam dan mengubahnya menjadi satu keindahan dimana mampu membuat fuji melupakan setiap kesedihan dan mengubahnya menjadi senyum bahagia.
Entah karena apa, yang pasti kini ia tengah membayangkan jika pangeran itu datang.

“Mulai deh senyum senyum sendiri!”

“Ati ati gila kamu”

Fuji berdecak, saking kesalnya, mendengar suara yang tak asing lagi di telinganya. Fuji menoleh ke asal suara itu. Seorang pria seumurannya, dengan wajah tampan, tatapan lembut, dan tentu dengan senyum menjengkelkan yang justru membuat pria itu semakin tampan jika di lihat.
Ia menoleh ke arah tetangganya itu, dengan pandangan terganggu, kesal sekaligus mematikan.

“Kamu gila?” Pria itu kembali mengulang pertanyaannya, menyebalkan bukan?.

Seolah tak terima dibilang gila, fuji pun segera menepis perkataan itu.

“Aku engga gila!”

“Kalau engga gila, kenapa kamu senyum senyum sendiri? Ohh aku tau, itu bukan gila namanya. Tapi stress! Hahahaha” Tawa pria itu terdengar risih di telinga Fuji, membuatnya buru-buru menepis ucapan pria itu.

“Nioooo!!!” Fuji yang mulai kesal pun nampak mencoba membulatkan matanya.

“Aku itu cuma mau menghargai keindahan karya tuhan malam ini, tapi kenapa kamu justru menghancurkannya sih!” Oceh fuji tak terima, karena merasa me time-nya telah dihancurkan oleh pria itu.

“Ehh, kamu denger aku, ya! Kalo kamu mau menghargai karya tuhan yang indah, seharusnya kamu engga perlu tuh jauh jauh liat ke atas, cukup kamu liat pria ini aja” Ucap nio dengan rasa penuh percaya diri, alisnya sengaja ia naik turun kan bermaksud untuk menggoda.
Fuji menatap dengan dua bola mata tak percaya. Ia tidak tau pasti harus melontarkan kata apa lagi untuk meluapkan kekesalannya pada pria penganggu ini.

“Udah, ah! Jangan liatin aku mulu, nanti kamu suka” Senyum sok cakep pria itu terlihat lagi (Ehh, tapi emang cakep sih :D).

“Nio, shut up!” Ucapnya lalu menutup jendela kamar, meninggalkan nio yang masih tersenyum gugu melihat tingkahnya.

Fuji merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk miliknya, gara gara nio ia jadi tidak puas melihat bintang malam ini.

“Andai kamu itu engga se-rese sekarang nio” Umpatnya lalu membayangkan kembali hari dimana dia dan nio pertama kali bertemu.

                    ***

*Flashback on*

Saat itu fuji masih berusia 8 tahun, ia duduk di kelas 2 sekolah dasar. Memiliki postur tubuh yang berisi kerap membuatnya di bully oleh teman-teman seusianya. Ia yang saat itu tidak bisa melawan pun, tidak tau harus berbuat apa selain menangis.
Sampai akhirnya ada sesosok pelindung datang dan mengenggam tangannya erat.

“Kalian kalo masih gangguin dia, aku jepret pakai ketapel ini! Mau coba?” Katanya lalu meraih satu buah batu kerikil dari tanah lalu mengaitkannya pada karet ketapel dan...

“1... 2... 3...”

Tepat sasaran! Anak anak nakal itu langsung lari tunggang langgang. Dia pun mendekat.

“Kamu gaapapa?”

Fuji menggeleng.

“Lain kali kalo emang ada yang gangguin kamu, lawan aja! Jangan nangis” Sarannya.

“Tapi aku takut mereka melakukan hal yang lebih dari itu nantinya”

“Yaudah, kalo gitu mulai sekarang jangan takut! Karena mulai sekarang aku akan jadi pelindung buat kamu. Ohiya, nama ku nio” Pria kecil pemilik senyum manis itu mengulurkan tangannya.

“Fuji” Balasnya masih malu.

“Okee, fuji, salam kenal ya. Aku kayaknya baru liat kamu deh, kamu warga baru ya?” Tanya nio.

Fuji mengangguk. “Iya, rumah ku di pojok dekat taman itu, aku baru pindah satu minggu yang lalu” Jelas fuji.

“Wahh, seriusan?! Kebetulan banget dong, ya, rumah ku persis di samping sebelah kiri rumah kamu itu”

Demikianlah perkenalan singkat yang membawa mereka menjadi sepasang sahabat sampai saat ini. Hal yang membuat keduanya tumbuh menjadi sosok lebih dewasa yang melihat sisi remaja bukan hanya dari segi cinta tapi juga persahabatan.

                   ***

LOST STAR (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang