Part 5 Ibu

1.9K 99 25
                                    

Kami sekeluarga sudah duduk manis dalam sebuah mobil van berlogo hotel tempat kami menginap tepat pukul 10 pagi menuju kediaman ayahnya Abi. Kami bertiga memanggilnya dengan sebutan Romo, sementara anak anak memanggilnya eyang kakung.

Rumah besar milik Romo terletak di daerah elit kota Solo. Bagian dari rumah rumah berukuran besar berhalaman luas yang rata rata ditinggali oleh pengusaha, pejabat maupun orang orang berdarah biru di kota bersejarah ini.

Bangunan rumahnya sendiri masih mempertahankan arsitektur kuno dengan tembok berdinding beton dan jendela jendela kayu berukir yang terlihat masih sangat kuat. Lantainya berlapis teraso yang sudah agak kusam.

Meskipun rumah itu terlihat tua dan lapuk, sisa sisa kejayaan masa lalunya masih tampak terlihat dari pilar pilarnya yang berdiri kokoh di teras depan rumah. Beberapa mobil sudah tampak berbaris di halaman rumah.

Hari ini, putri kedua Romo yang bernama Dara akan menerima lamaran sekaligus bertunangan dengan calon suaminya yang menurut kisah Sean adalah teman kuliah Dara.

Putri sulung Romo, yang bernama Gadis sudah menikah dan saat ini dia dan suaminya mengambil alih bisnis batik milik keluarga mereka. Adapun Putri, si bungsu masih kuliah di UNS Solo.

Entah kenapa, anak anak bersikap sangat tenang begitu kami turun dari mobil dan memasuki halaman rumah Eyangnya. Padahal di mobil saja mereka masih bertengkar soal lagu apa yang harus didengarkan dan lebih jauh mana rumah eyang dengan Hartono mall. Aku berani bertaruh aura muram rumah inilah yang membuat keempat anak kami tiba-tiba menjadi diam dengan sendirinya.

Abi berjalan paling depan, dengan Tristan di sampingnya. Sean, menggandeng Pepi dan Mutia berjalan tepat di belakang mereka. Aku berjalan dengan langkah tertatih karena Tio tiba-tiba saja menggayuti kakiku.

Di antara keempat anak kami, Tio memang yang paling sensitif. Wajahnya langsung tampak mellow ketika kami masuk. Dia bahkan menyembunyikan wajahnya di balik tubuhku dan kedua tangannya melingkar erat di perutku. Jauh lebih posesif dari papanya, desahku.

Keluarga Budi, calon suami Dara belum datang tapi beberapa sepupu ayahnya sudah muncul. Bahkan kami bertemu sepupu Abi yang tinggal di Bogor sudah duduk rapih di ruang tamu bersama ketiga putra mereka.

Anak anak dengan santun menyalami para sesepuh kemudian dengan tertib berjalan ke teras belakang rumah Romo, lalu duduk di sana dengan diam.

Perlahan anak-anak itu bergerak untuk berkumpul di bawah sebuah pohon kamboja tua yang bunganya berserakan. Dari tujuh orang anak, hanya Mutia yang perempuan, tapi keenam saudaranya patuh menunduk memunguti bunga bunga kamboja yang jatuh untuk disetorkan kepada putriku, Mutia.

Dengan iri aku memandangi keasyikan mereka yang sama sekali tidak peduli dengan apa yang terjadi di antara orang orang dewasa di teras belakang.

Abi mengajakku masuk ke ruang tengah untuk menemui orang tuanya.

Romo dan Ibu Rukmini (begitulah Abi dan Sean memanggil ibu tiri mereka) duduk dengan anggun di sofa panjang berukiran rumit di tengah ruangan. Dua putrinya duduk di samping mereka dengan senyuman.

Aku menghela napas panjang ketika Abi menarik lenganku dengan lembut, mengambil posisi berlutut di hadapan kedua orang tuanya. Sean, yang berdiri di belakangku juga ikutan berlutut sambil mendesah, tampak betul dia enggan dengan tradisi masa lalu ini. Aku mengikuti langkah suamiku sambil berlutut, menyalami kedua orang berwajah menawan di atas sofa.

Ayah mertuaku menggunakan beskap coklat keemasan dengan sarung batik halus bermotif Kawung, senada dengan kain panjang yang dikenakan ibu Rukmini. Kebaya beliau terbuat dari sutra polos berwarna keemasan dengan bross bertahtakan intan yang sangat indah tersemat di dadanya.

The Blue Saphire (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang