Udara dini hari menjelang pagi terasa dingin. Aku yang sejak tadi berdiri di depan jendela kamar asing itu memutuskan untuk menutupnya.
Seingatku, kota ini terkenal panas. Tapi entah kenapa, begitu memasuki lantai dua rumah ini dulu, aku langsung jatuh cinta. Sejuk, karena sirkulasi udara yang sangat baik dari rumah yang bangunannya masih baru ini.
Menurut Arman, penanggung jawab di sini, aku adalah penghuni pertamanya.
Rumah ini terdiri dari dua lantai. Lantai pertama difungsikan sebagai bengkel motor besar, sekaligus tempat jual beli dan showroom. Satu-satunya bengkel motor besar (moge) terlengkap di Surabaya, kata Arman.
Arman tinggal di lantai dua gedung sebelah, yang juga masih dalam kawasan bengkel, dengan lantai satu dijadikan kafe & resto, tempat bisnis baruku.
Konsep kafenya dibuat sangat lelaki, dengan tempat billiard dan dekorasi yang maskulin karena memang ditujukan untuk para pemilik Moge yang menunggu Mogenya diperbaiki di bengkel.
Yah, sejak resmi bercerai dari Arkan, aku pindah ke Surabaya dan menggunakan uang hasil gono-gini pemberian mantanku sebagai modal memulai hidup baru, di kota Pahlawan ini.
Kebetulan aku mengenal Arman, salah seorang teman kuliah dulu. Kami dulu lumayan akrab karena seperti aku, Arman juga dibesarkan di sebuah panti asuhan di Yogya.
Konon, bengkel dan resto ini juga milik anak panti, senior Arman yang kini sedang kuliah di Jerman. Aku mendesah. Panti asuhan tempat Arman dibesarkan pasti panti yang keren sekali sehingga penghuninya dibesarkan sampai bisa kuliah seperti Arman dan bahkan sampai kuliah di luar negeri seperti seniornya Arman.
Tapi saat aku mengatakan hal ini kepadanya, Arman malah terkekeh, "Bukan begitu ceritanya, Han. Mas Aji sebetulnya putra pemilik panti. Dia dan saudara kembarnya dibesarkan di panti oleh ibu kandungnya sendiri, bersama-sama dengan kami. Lalu setelah ibunya meninggal, ayahnya mencarinya dan mengajaknya pindah ke Eropa dan dia memutuskan untuk melanjutkan kuliah di sana. Aku juga bisa selesai S1 berkat ayah kandungnya Mas Aji yang ternyata kaya raya."
"Oh! Jadi ternyata Mas Aji disekolahkan ayahnya? Dia punya saudara kembar?'
"Iya, Mas Satya namanya. Sudah meninggal karena kanker. Waktu Mas Satya sakit, rumah dan bengkel ini sedang dibangun. Rencananya bakalan menjadi tempat tinggal mereka berdua. Itu sebabnya ada dua kamar di atas. Iya kan?"
"Iya sih. Sedih banget dong waktu saudara kembarnya meninggal?"
"Itulah. Bangunan ini tetap diselesaikan, dibantu pak Abimanyu, paman Mas Aji. Tapi Mas Ajinya sendiri belum pernah ke sini lagi sejak itu. Dia malah langsung diajak ayahnya ke Paris. Mereka kalau tidak salah punya pabrik coklat di sana, dan supaya bisa mengelola pabriknya, Mas Aji lanjut kuliah mesin di Jerman."
"Wow! Dia mewarisi pabrik coklat?"
"Hehe ... Iya, Mbak. Dia putra tunggal Dr. Satrio Wicaksono. Ahli waris satu-satunya setelah Mas Satya tiada."
"Jadi kemungkinan dia balik ke sini bakalan kecil sekali?"
"Dia janji akan menjenguk bengkelnya. Tapi ya, paviliun di atas tidak akan terpakai. Itu sebabnya aku tawarkan ke kamu, Han, dari pada jauh-jauh cari tempat tinggal, kan? Di sini enak. Nyaman karena dekat dengan tempat usaha. Bengkelnya juga dijaga selama 24 jam. Jadi bakalan aman."
"Kamu benar, ini tempat yang ideal. Bagus pula."
"Iya. Pak Abi gak tanggung tanggung waktu mendesain tempat ini, meki beliau tahu kemungkinan Mas Aji menempatinya bakalan kecil. Tapi just in case dia datang, kamu kosongkan saja kamar yang satu ya, Han? Kamu tinggal di kamar yang sedianya untuk Mas Satya saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Blue Saphire (Sudah Terbit)
RomanceDr. Satrio Wicaksono adalah dokter ahli bedah jantung anak yang dikenal bertangan dingin. Belum pernah ada ceritanya dia mengalami kegagalan dalam setiap operasi yang ditanganinya bersama team. Pembawaannya periang dan easy going. Sangat suka kegiat...