Suara tangis masih terdengar sayup dari dalam rumah utama, ketika jenazah Mahendra tiba dengan ambulans dari rumah sakit.
Mereka membaringkan ayah mereka di ruang tengah. Beberapa orang bersiap untuk memandikan jenazah.
Sean duduk di sudut halaman belakang sambil tak henti hentinya merokok. Wajahnya sedikit murung, bukan karena kepergian ayahnya tapi karena suasana kacau di rumah besar itu.
Semua orang tidak tahu semua hal dan menanyakan segalanya pada Abi dan mbak Ratri, dan bahkan mereka bertiga hanya tamu di sini. Selalu hanya sebagai tamu. Tapi tiba tiba semua orang mencarinya dan Abi.
Karena dia menunjukkan wajah tak peduli, akhirnya hanya Abi yang dicari.
Uang untuk membayar ambulans, beli kain kafan, bunga, sabun dan kamper. Uang untuk memasang tenda dan menyewa kursi dan bahkan surat kematian pun ditanyakan ke Abi.
Sean memandangi ketiga adik dan ibu tirinya yang tak berhenti menangis dengan wajah kesal. Lalu melabrak dua adik iparnya. "Jangan cuma mau uangnya Romo saja! Sekarang orangnya sudah gak ada, kalian urus!" makinya dengan wajah masam.
Kedua iparnya berusaha menjelaskan bahwa uang simpanan mereka sudah terpakai untuk biaya berobat Romo dan investasi bisnis batik mereka dan membuatnya mencemooh.
Dia tahu persis, Abilah tadi yang menebus jenasah Romo dari rumah sakit.Dia heran sekali memperhatikan abangnya yang sibuk mondar mandir tanpa suara mengurus segalanya meski Sean yakin, Abi pasti sama bingungnya dengan dirinya.
Justru mbak Ratri yang banyak membantu karena dia pernah mengurus jenasah mas Bimo, almarhum suaminya. Dengan setia dia mendampingi Abi mengurus banyak hal dan membuat Sean merasa tenang lalu diam-diam bersembunyi di sudut halaman belakang sambil merokok.
Bahkan di pemakaman ketika pengurus jenasah meminta dua orang kerabat laki laki untuk turun ke liang lahat, dia dengan masa bodoh berdiri di barisan paling belakang. Biar saja dua iparnya yang turun. Bukankah mereka lebih anak dari pada anak lelaki Romo sendiri?
Namun setelah beberapa menit tak ada yang bersedia turun, Abi malah menyeretnya untuk ikut turun bersamanya.
Dengan tidak iklas Sean terpaksa mengikuti sang kakak mengurus lelaki tua itu sampai ke liang lahatnya. Tak ada rasa sedih apalagi kehilangan. Hatinya sudah lama mati terhadap keluarga ini. Dalam hidupnya hanya ada Mom, Abi dan anak anaknya.
Maka dia melakukan semuanya demi Abi terutama karena Sean tahu, meski Abi tidak banyak bicara, dia tampak sedih.
Sean tidak mengerti mengapa Abi harus bersedih. Ada, atau tak adanya Romo di dunia ini, sebetulnya tak berarti banyak bagi mereka berdua, bukan? Apalagi sejak Abi menikah dengan mbak Ratri, seorang janda beranak dua yang yatim piatu dan tidak berdarah biru. Ibu Rukmi tak pernah menerima mereka dengan senang hati.
Mereka kembali ke rumah besar itu setelah pemakaman, tapi dengan lega Sean menerima keputusan Abi untuk tidak bermalam di sana. Mereka memutuskan untuk tinggal di hotel saja, dan berjanji untuk hadir di acara tahlil hari ketiga. Tidak heran ketika Putri dan Dara, dua adiknya meminta bantuan dana guna penyelenggaraan tahlil.
Sean bahkan menolak makan malam di rumah itu. Dengan malas dia kembali duduk di sudut halaman belakang sambil merokok menunggu Abi dan Mbak Ratri selesai mengurus acara pengajiannya. Tak lama, adiknya Gadis, memanggilnya.
"Ada tamu mencarimu, Mas!"
"Siapa?"
"Aku, Mas. Kok kamu gak bilang sih, ayahmu meninggal? Kalau tahu, aku pasti ikut kamu deh kemarin, gak jadi shopping!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Blue Saphire (Sudah Terbit)
RomanceDr. Satrio Wicaksono adalah dokter ahli bedah jantung anak yang dikenal bertangan dingin. Belum pernah ada ceritanya dia mengalami kegagalan dalam setiap operasi yang ditanganinya bersama team. Pembawaannya periang dan easy going. Sangat suka kegiat...