Part 25 Museum

1.4K 87 17
                                    

"Apa yang menarik untuk dikunjungi di Paris, Oncle Julien?" (Oncle adalah paman dalam bahasa Prancis). Tanya Pepi kepada sepupu ayahnya dengan penuh rasa ingin tahu.

Mereka hanya punya satu hari besok untuk berkeliling kota Paris sebelum berangkat ke Swiss.

"Tergantung, apa yang ingin kalian lihat?" tanya Julien dengan antusias.

"Monalisa, Oncle!" seru Tio bersemangat.

"Ah! Artinya kalian ingin ke museum. Monalisa adanya di Museum Louvre. Tahukah kalian bahwa Musee du Louvre adalah museum terbesar di dunia?"

"Yah! Luas banget ya Oncle? Tio gak bisa ikut dong kalau harus berjalan jauh?"

"Kan bisa pakai kursi roda? Kita juga tidak perlu mengunjungi semuanya karena memang terlalu luas, bayangkan, lebih dari enam puluh ribu meter persegi! Jangankan Tio, kita juga bisa pegal-pegal jika ingin melihat semuanya dalam satu hari!"

"Weh! Luas banget! Museum atau istana kerajaan tuh? Jangan-jangan istana Buckingham kalah luas, Oncle?"

"Hehe! Kurang jelas. Tapi memang awalnya itu sebuah benteng. Lalu di abad 16, oleh Raja Louis keempat belas, dijadikan istana tempat tinggal keluarga kerajaan. Tapi tak lama, pada tahun 1682 keluarga kerajaan pindah ke istana di Versailles."

"Wah, Oncle lumayan keren nih pengetahuannya!"

"Hahaha! Aku kan warga Paris yang bangga! Besok kita kunjungi Denon Wing saja, tempat lukisan Monalisa dipajang, ya? Itu lukisan yang fenomenal. Ada penjaganya dan bahkan lukisannya dilapisi kaca anti peluru."

"Wow! Pasti karena berharga!"

"Dan pernah dicuri dulu. Makanya sekarang dijaga ketat supaya tidak dicuri lagi."

"Oh gitu! Oh hai Mom!"

"Hai Sayang. Kalian sedang membicarakan apa?"

"Ini Mom. Tio ingin melihat lukisan Monalisa karya Leonardo Da Vinci di museum Louvre besok. Boleh ya, Mom? Oncle Julien yang akan mengantar."

"Betulkah Jules? Wah terima kasih. Tapi bukankah museum itu sangat luas? Tio nanti—"

"Tio pakai kursi roda, Mom! Dan kita tidak akan melihat seluruh koleksinya. Hanya ke satu tempat saja. Yang ada lukisan Monalisanya."

"Bukan apa-apa sayang, lusa kita harus berangkat ke Switzerland 'kan? Perjalanan menuju Crans Montana cukup jauh lho! Kita ke Geneva dulu dengan pesawat selama satu jam, lalu dari situ masih naik kereta hampir tiga jam ke lokasi. Bunda hanya khawatir Tio kecapekan!"

"Don't worry, sister. Kita hanya dua jam saja di Louvre. Aku akan memastikan mereka pulang sebelum sore supaya cukup waktu untuk istirahat."

"Oh baiklah. Siapa saja yang mau ikut?"

"Aku!" seru Pepi dan Tio sambil mengangkat kedua tangan. Tristan kelihatan bimbang karena sebagai mahasiswa di sana dia dan Mutia sudah pernah berkunjung ke museum itu.

"Oncle Julien tidak bisa sendirian. In case Tio capek atau ingin pulang duluan, harus ada dua orang dewasa yang mengantar."

Tio langsung mendecakkan lidahnya dengan sebal. "Aku tidak apa-apa, Mom!"

"Iya Sayang, Mom percaya. But we need to take precaution, kan?"

"Huh!" Tio langsung cemberut sambil melipat lengannya di dada.

Tristan tertawa dan menarik ujung kemeja adiknya dengan geli.

"Aku ikut deh, Bun. Nemenin," katanya menawarkan diri.

Ratri tersenyum lega sambil memandangi putra sulungnya dengan penuh terima kasih.

"Bunda gak ikut?"

The Blue Saphire (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang