Part 18 Ekstrovert

1.6K 108 22
                                    

Secara menggembirakan, kondisi Satya membaik meskipun rambutnya rontok parah. Sean terpaksa membotaki kepalanya demi membujuk agar Satya bersedia mencukur habis kepalanya.

Satya yang akhirnya bersedia dibotaki justru terlihat sangat bangga bisa botak bareng ayahnya.

Sebagai lelaki dewasa yang super cuek, Sean tidak peduli ketika keempat keponakannya ribut membullynya. Bahkan Sabrienna yang terlihat kecewa melihat kepala plontosnya juga membuatnya senang. Karena gadis itu menjauhinya secara otomatis tanpa perlu diputuskan.

Mereka juga akhirnya tahu bahwa Satya benar putranya. DNAnya 99% cocok. Meski sedih, tapi Abi benar. Lebih baik terlambat dari pada tidak pernah mengenal putranya sama sekali, bukan?

Selama beberapa bulan Sean tinggal di Yogya, sudah banyak sekali perubahan yang terjadi. Satya kini memakai alat bantu dengar untuk telinga kirinya yang rusak parah akibat demam tinggi di waktu dia masih kecil. Sean juga membelikan kaki palsu yang bagus sehingga Satya bisa lebih mudah melangkah.

Meskipun test IQ untuk Satya berhasil mengkonfirmasi IQ putranya yang tidak terlalu tinggi, tapi Sean tetap berbesar hati. Berusaha mengarahkan Satya untuk bisa mandiri adalah misi baru yang kini diembannya.

Bagaimana pun, menyiapkan anak-anak agar bisa mandiri bahkan tanpa kehadiran mereka adalah tugas utama Sean sebagai orang tuanya.

Ada satu yang belum pernah berhasil dilakukan oleh Sean. Membujuk Satya agar mau ikut dengannya pindah ke Jakarta, sementara jatah cutinya sudah semakin menipis.

Sean baru saja menyusul putranya yang sedang membersihkan makam Lestari sore itu. Dia duduk di pinggir makam sambil memperhatikan putranya bekerja.

Satya bekerja dengan sangat telaten. Dibersihkannya tanah makam ibunya dengan sapu lidi, lalu dikumpulkannya sampah berupa daun dan bunga kering ke dalam satu pengki yang kemudian dibuangnya di bak sampah di luar area pemakaman.

Setelah tanahnya besih dia mulai membersihkan nisannya dengan menggunakan lap basah. Sean sudah mengganti nisan Lestari yang tadinya dari kayu usang menjadi batu marmer berukuran kecil yang sederhana.

Dia tak ingin makam itu dibangun. Hanya ingin dibersihkan dan dirapikan saja. Maka batu pipih berwarna hitam itu diletakkan di bagian kepala hanya sebagai pertanda. Satya membersihkan batu itu dengan sangat hati-hati karena dia tahu harga batu itu tidak murah.

"Hei, Satya!"

"Heem?"

"Sudah selesai?"

"Sebentar lagi, Pa."

"Duduk sini, papa mau bicara." Pemuda itu mendongak kemudian menggeser duduknya ke sebelah Sean.

"Kenapa, Pa?"

"Ada yang ingin papa tanyakan."

Anak itu menoleh padanya dengan pandangan bertanya. Matanya yang bening memandanginya dengan lembut dan membuat Sean mendesah.

"Dulu, pertama kali papa dan papa Abi ke sini, untuk mencari ibumu, kau langsung memanggilku Romo, kan?"

Pemuda itu termangu, lalu mengangguk ragu. Sean menghela napas panjang. Sudah lama dia ingin menanyakan ini.

"Dari mana kau tahu bahwa akulah papamu, dan bukan papa Abi?"

"Kalian mirip."

"Justru itu. Jadi bagaimana caranya kamu bisa membedakan kami?"

Pemuda itu tersenyum, dan matanya yang hitam besar seolah ikut tersenyum juga.

"Dari ini, Pa." ujarnya sambil mengangkat tangan kirinya.

The Blue Saphire (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang