Aji terbangun dengan perasaan asing. Dia baru tiba kemarin malam sehingga tak sempat mengamati kamar maupun rumah megah yang didatanginya bersama ayahnya kemarin malam. Ini rumah yang luar biasa besar, didesain dengan penuh imajinasi oleh pamannya, Abimanyu, sebagai hadiah perkawinan untuk istrinya, Ratri.
Aji merentangkan tangannya dengan malas. Empat dinding berwarna abu-abu pucat, dengan langit-langit tinggi di atasnya. Sebuah jendela besar dengan tirai putih menjuntai indah dan lemari kayu tinggi yang berpotongan sederhana tapi terlihat kuat. Pasti bukan terbuat dari partikel board yang akan buyar begitu kena banjir, meskipun dia yakin rumah ini takkan pernah terkena banjir.
Dia nyaris tertidur lagi ketika mendengar suara langkah kaki mondar-mandir di depan kamar tidurnya. Ya, kamar tidurnya terletak di antara kamar tidur yang berderet di lantai dua rumah pamannya.
Aji memutuskan untuk bangun. Memeriksa isi ranselnya dan mengambil sebuah kemeja hitam dan pakaian dalam lalu memutuskan masuk ke sebuah pintu berwarna putih di dekat jendela.
Oh, ya ampun! Ini kamar mandi hampir sama luas dengan kamar tidurnya sendiri. Ada bathtub, air panas, washtafel untuk menyikat gigi dan bercukur, closet duduk dan shower besar yang terlihat megah. Betul saja, air deras memancar dari shower berukuran besar itu, memberi efek memijat yang membuat punggungnya merasa nyaman.
Dia pernah dengar tentang shower yang memiliki konsep seperti turunnya air hujan. Dia tertawa kecil menyadari bahwa dia sedang mandi hujan, di dalam kamar mandi, di rumah pamannya yang terletak di pinggiran kota.
Aji keluar dari kamarnya dengan perasaan segar, dan langsung berjalan menuruni tangga, menuju suara-suara paling ramai terdengar, ruang makan.
"Selamat pagi, Aji! Bagaimana tidurmu semalam? Bisa tidur, kan?" sapa hangat Ratri sambil menunjuk sebuah kursi di meja makan dan memintanya duduk.
Aji membalas sapaan super ceria itu dengan anggukkan kepala. Mulutnya otomatis ikut tersenyum.
"Bisa, kok Bunda. Tempat tidurnya nyaman sekali." jawabnya sambil mengangguk ke arah Pepi yang sudah duduk di sebelahnya.
"Kau biasa minum teh atau kopi?" tanya Ratri lagi.
Tangannya sibuk menghidangkan ini itu di atas meja.
"Kopi jika ada, Bunda. Terima kasih."
Pepi menunjukkan coffee maker di meja kopi. Disebut meja kopi karena di atasnya tersusun dengan rapih sebuah coffee maker dengan kopi hitam pekat yang masih mengepul di dalamnya, setoples creamer, gula, madu, dan beberapa gelas bersih.
Aji mengangguk mengerti lalu menghampiri meja kopi itu untuk mengolah kopinya sendiri.
"Kami di sini menyukai kopi jenis Arabica. Kadar kafeinnya lebih rendah dibanding yang Robusta, rasanya memang tidak sepekat Robusta, terasa sedikit lebih asam dan beraroma kacang-kacangan."
"Dari mana, Bunda?"
"Oh! Yang ini dari lembah Baliem, Papua."
"Aku pernah dengar tentang kopi Papua. Katanya rasanya enak, tapi aku belum pernah coba sih. Harganya pasti lebih mahal dari kopi kemasan yang itu, kan, Bunda?"
"Hahaha! Iya sih. Tapi di sini yang minum kopi hanya orang dewasa saja. Jadi kopi mahalnya awet."
"Aku juga suka kopi Papua, Bunda!"
"Yeah, tentu saja Pep. Habiskan jusmu. Kau mau cereal atau bubur oat?"
"Yeuh! Cereal saja, Mom!" Lalu anak itu berjalan ke salah satu rak di dapur untuk meraih sekotak besar cereal coklat favoritnya, dan menuangkan cerealnya dengan boros ke sebuah mangkuk putih.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Blue Saphire (Sudah Terbit)
RomanceDr. Satrio Wicaksono adalah dokter ahli bedah jantung anak yang dikenal bertangan dingin. Belum pernah ada ceritanya dia mengalami kegagalan dalam setiap operasi yang ditanganinya bersama team. Pembawaannya periang dan easy going. Sangat suka kegiat...