Happy reading....
.......
Aku melewati malam ku dengan seribu pertanyaan, kebanyakan dari pertanyaan itu di awali dengan kata 'mengapa Arsen?' dan kata selanjutnya hanya gerutuan juga umpatan sebal padanya. Pasal nya tadi malam aku di buat nya merasakan sensasi meriang hanya dengan tatapan teduh sialan nya itu.
"Jika kau terus menuangkan teh ke cangkir itu, aku beritahu jika itu lebih dari cukup." William menyadarkan ku dan baru saja aku membuat kesalahan ketika bekerja.
Oh, terimakasih tuan Arsel Mitchell.
Gadis batin ku memutar bola matanya jengah.Ada ataupun tidak ada dia tetap menyebalkan. Ini benar-benar tidak bagus, aku harus menyingkirkan dia dari pikiran ku secepatnya.
"Apa yang terjadi tadi malam? Aku rasa kau pulang dengan tuan Mitchell mu itu."
"Tidak ada, itu hanya makan malam formalitas." aku menggeleng lesu membereskan meja yang kotor. Beruntung Will adalah karyawan yang rajin, ia membantu ku menuangkan teh yang sempat aku kacaukan.
Ini jam sarapan, jadi banyak orang yang memesan Bacon, teh hangat, ataupun roti dengan butter. Seperti kebanyakan orang inggris lainnya.
"Tolong antarkan ini, aku akan menggantikan mu untuk membuat kopi dan teh."
"Terimakasih, aku akan mengantarkan pesanannya sekarang."
"Dan tolong jangan kacaukan yang satu ini." canda Will dan aku hanya melempar senyukai kecil dan mengangguk, aku lega karena ada jejak humor saat Will berbicara.
Beberapa tamu memesan pesanan yang sama setiap pagi, itu alasan kami selalu menggunakan 1 nampan besar untuk pesanan yang sama, aku tersenyum tipis saat melihat orang-orang dengan kebutuhan yang berbeda di dalam kafe ini. Ada lelaki paruh baya yang sarapan bersama putri nya yang beranjak remaja, pasangan manula yang terlihat begitu hangat di meja dekat jendela yang sedang berbincang hangat dan menikmati teh nya, ada pula beberapa wanita karir--ku kira--yang terlihat tergesa dan meninggalkan tagihannya di atas meja.
Aku tertawa kecil karena yang aku ingat aku hanya sarapan susu bekas minum yang di tinggalkan adik ku, ayah ke kantor sejak matahari belum menampakkan diri. Ibu berangkat ke penitipan anak tempat di mana ia bekerja, tapi aku sudah terbiasa dengan itu. Sejak sekolah dasar aku telah di ajarkan hidup mandiri dan kuat. Walau kesannya mereka membesarkan ku dengan culas.
Bagaimanapun itu keluarga ku, aku menyayangi mereka.
"Boleh aku minta tambahan gula, nona. Di meja ini sepertinya habis." seseorang membuat ku terkesiap.
"Oh, maaf jika aku mengejutkan mu. Aku hanya minta gula"
Aku mengenal nada dan candaan nya, tak salah lagi pria ini.
"Adlan?"
"Hei, kau bekerja di sini Ash?"
"Ya, ah tunggu sebentar. Ini gula mu"
Ia tertawa pelan saat aku mengisi ulang tempat gula shacet di atas meja, sebenarnya ini masalah jika terdengar oleh manajer, karena ini bentuk kelalaian kami para karyawan yang tidak memastikan kebutuhan pelanggan di atas meja cukup atau tidak.
"Terimakasih..." senyuman nya terulas dan jauh berbeda dengan Arsel, Adlan begitu ramah juga sopan.
"Terimakasih kembali, aku kembali bekerja jika begitu." aku pamit pada nya dan bergegas untuk kembali.
"Tunggu, Ash"
"Iya? Apa ada masalah?"
"Aku dan teman-teman ku bekerja untuk pemotretan kafe ini. Kebutuhan promosi, aku rasa kau bisa membantu kami" aku mengerutkan dahi, pasalnya apa hubungan ku dan promosi.