Prolog

7.3K 408 25
                                    

Gadis itu melangkah tergesa. Sepoi angin yang membelai hijab tak mampu menyamarkan keringat yang telanjur mengalir di pelipis putihnya. Ia tengah gugup setengah mati.

Hari ini, ia akan menjadi pemateri utama dalam sebuah seminar. Namun, bukan itu yang membuatnya gugup, menjadi pemateri bukan hal baru baginya. Hanya saja, ada yang berbeda dari seminar kali ini. Ia harus menjadi pemateri di sebuah pondok pesantren. Tempat yang ia takutkan akan mengundang seluruh kenangan yang telah susah payah ia kubur bertahun-tahun ini. Kehadirannya yang terlambat sepuluh menit dari janji hadir, membuat keringatnya mengucur semakin deras sebab tergesa.

Kakinya terhenti, hanya tinggal beberapa langkah saja. Ia menghirup udara sedalam-dalamnya, menetralisir ritme napas, kemudian melanjutkan langkah dan membuka pintu kaca bertuliskan auditorium, ia berusaha untuk terlihat tenang.

"Assalamualaikum," ucapnya lirih.

"Waalaikumsalam. Ya Allah, Kak Nayla, alhamdulillah udah dateng. Mari saya antar ke ruang transit pemateri, Kak." Seorang panitia acara yang tengah menjaga meja registrasi menyambutnya dengan senyum semringah.

"Duh, maaf saya telat ya, Mbak. Jalanan macet, hape saya kehabisan baterai, kebetulan saya juga gak ngajak asisten. Jadi gak bisa ngabarin panitia," sahut Nayla dengan ekspresi bersalah.

Panitia itu tersenyum dan mengangguk, "Gakpapa, Kak. Kita tadi juga sempat khawatir soalnya Kak Nayla gak bisa dihubungin, takutnya kenapa-kenapa. Tapi alhamdulillah udah sampai sini."

"Kalau gitu saya langsung ke depan aja, ya. Ini saya minta tolong nitip tas, sama kalau gak ngerepotin sekalian nitip ngecas hape," pinta Nayla, "oh iya, sama ini isinya materi, bisa minta tolong kasihkan ke operator seminar," lanjutnya sembari memberikan sebuah flashdisk.

"Oh, siap. Tasnya saya taruh di ruang transit ya, Kak. Mari saya antar dulu ke depan."

Nayla dan panitia penjaga daftar hadir berjalan beriringan menuju panggung. Seorang gadis yang bertugas menjadi moderator seminar mengembuskan napas lega menatapnya.

"Nah, kawan-kawan, inilah pemateri yang telah kita tunggu-tunggu, Kakak Nayla," sambut sang moderator dengan ceria.

Nayla mengambil mikrofon kemudian menyapa ramah para peserta seminar, "Assalamualaikum, Adik-adik."

"Waalaikumsalam, Kakakkk..." Seluruh peserta menjawab salamnya dengan serentak.

"Wah masyaa Allah, kompak sekali. Oh iya, maaf Kakak terlambat, ya. Nah, buat ngecek kalian masih pada semangat apa gak karena udah kelamaan nunggu, Kakak tes dulu, aja. Jadi, kalau Kakak bilang 'salam literasi,' kalian jawab, 'salam, salam, salam!' sambil mengepalkan tangan."

"Yuk, Kakak mulai, ya. Salam literasi...."

"Salam, salam, salam!"

"Sekali lagi deh, masih kurang semangat, nih. Teriak yang keras ya, Salam literasi...."

"SALAM, SALAM, SALAM!"

"Nah, gini nih mantap." Nayla tersenyum lebar. Ia yang sempat gentar kini kembali percaya diri. Semangat para peserta menular ke dalam dirinya.

"Jadi, hari ini kita mau bahas apa, nih?" pancing Nayla. Seisi ruangan ramai dengan jawaban para peserta tentang tema seminar hari ini.

Nayla lagi-lagi tersenyum. Keaktifan peserta dapat diacungi jempol. Sepertinya mereka orang-orang yang berniat mengikuti seminar memang karena ingin mendapatkan ilmu baru, bukan sekadar mencari sertifikat atau iseng untuk mengisi waktu luang.

"Masyaa Allah, Kakak sedang berada di depan calon-calon penulis sukses ini. Nah, karena CV Kakak sudah disampaikan sama Mbak Moderator yang cantik, jadi kita langsung ke materi aja, ya. Oke, Mbak Operator, boleh minta tolong tampilkan PPTnya di slide pertama," pinta Nayla.

"Jadi, tema seminar kita hari ini, 'Menulis Fiksi Untuk Kehidupan Non-Fiksi'. Kalau dari yang Kakak pahami dari tema ini, mungkin panitia penyelenggara pengen ngasih tahu kita, bahwa dengan menulis karya fiksi, kehidupan non-fiksi atau kehidupan nyata kita bisa tertolong. Sederhananya, mungkin dapat pertolongan lewat penghasilan menulis, lewat banyaknya teman yang kita kenal setelah menjadi penulis, dan lain sebagainya," ucap Nayla sebagai pembuka bahasan.

"Lalu, apa sih menulis fiksi itu? Nah, Mbak, tolong digeser ke slide kedua," pinta Nayla lagi.

"Jadi, ada jenis tulisan fiksi dan non-fiksi. Fiksi sendiri adalah tulisan-tulisan yang tidak benar-benar terjadi atau murni karangan. Bentuknya ada cerpen, novel, cerbung, dan lain sebagainya. Sementara tulisan non-fiksi adalah tulisan yang berdasarkan kenyataan, terdapat penelitian langsung dengan data yang bisa dipertanggung jawabkan kevalidannya. Contohnya ada esai, artikel, feature, dan lain sebagainya."

"Lanjut slide berikutnya, Mbak." Nayla tersenyum pada sang operator.

"Nah, sekarang tentang menulis. Menulis fiksi memang diawali dengan imajinasi dan khayalan-khayalan, tapi kalian gak akan bisa bikin cerpen atau novel kalau cuma ngandelin imajinasi. Karena kalau cuma imajinasi, kalian cuma bakal muter-muter ama khayalan gak jelas. Kalian juga harus punya wawasan, pengetahuan, dan pengalaman yang banyak. Cerita yang kalian tulis tetap harus berbobot, jangan mentang-mentang fiksi, hanya cerita hiburan, terus kalian buat sesuka kalian, tanpa memikirkan apakah cerita itu logis atau gak, apa cerita itu punya nilai yang bisa diambil atau gak. Tulisan kita kan bakal dibaca sama orang banyak, jadi harus mengandung ilmu dan kebermanfaatan, dong.

"Pengetahuan itu bener-bener penting buat menuliskan sesuatu, terlebih pengetahuan tentang tata cara menulis. Bagaimana pemilihan diksi yang bagus, penggunaan kapital dan penggalan kata yang tepat, latar cerita yang kalian pilih, alur cerita, dan masih banyak lagi. Jadi intinya, kalian gak bisa menulis sesuka kalian, tanpa melibatkan pengetahuan sama sekali."

Nayla menghirup napas sejenak, menatap wajah-wajah penuh bara semangat yang ada di hadapannya. Membagi ilmu tentang kepenulisan selalu berhasil membuat hatinya menghangat. Ia bahagia melihat raut-raut remaja penuh mimpi yang kini sedang khusyuk mendengar pemaparannya tentang dunia pena dan aksara. Ia benar-benar bahagia.

Nayla kembali melanjutkan materi, menjelaskan tentang hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum menulis, cara menghasilkan tulisan yang bagus dan dinikmati oleh para pembaca, dan banyak hal yang berhubungan dengan kepenulisan. Ia membuka sesi tanya-jawab sebanyak mungkin, memberi kesempatan bagi siapa pun yang hendak bertanya. Baginya, tak ada pembatasan dalam penyampaian ilmu.

Sepanjang seminar, hatinya membaik. Gugupnya akan pesantren telah menguap entah ke mana. Membagi dunianya pada banyak orang membuat ia nyaman. Ia ingin mengajak berjuta remaja untuk masuk dalam dunia aksara, menemani imajinasinya menjadi seorang penulis.

Dan sepanjang acara, ia benar-benar menghabiskan waktunya untuk berdiskusi dengan baik. Pesantren bukan lagi momok baginya. Setidaknya, itu yang ia pahami, sebelum sebuah pertemuan dengan masa lalu membuatnya kembali terjatuh. Memporak-porandakan keteguhan yang telah susah payah ia bangun bertahun-tahun.

*****

Hai, hello. Assalamualaikum. Naya hadir kembali.

Sebelum Labirin Cinta Nayla launching versi cetak di bulan Januari nanti, ini kurepost kembali dengan sedikit polesan, ya.

Selamat membaca dengan penuh cinta.

Jangan lupa, jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar ❤️.

Labirin Cinta NaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang