Delegasi Berkah, atau Musibah?

2K 262 33
                                    

Enam tahun yang lalu

Nayla menghadap jendela, menatap pepohonan yang tergerak indah terkena sapuan angin. Surabaya adalah kota dengan tingkat kemacetan yang tak bisa ditoleransi, metropolitan kedua setelah Jakarta. Namun, bagi santri semacam Nayla dan beberapa kawannya, dapat menikmati kemacetan dan merasai panasnya Surabaya adalah anugerah. Bagaimana tidak? Mereka hanya dapat merasakan sensasi itu satu tahun sekali, saat liburan pesantren tiba. Jadi, ketika dalam setahun mereka dapat menikmati kemacetan Surabaya lebih dari sekali, itu anugerah, bukan?

“Ustazah, tempatnya masih jauh, ya?” tanya Shanum.

Ustazah Maftuhah yang tengah bersandar di kursi mobil menegakkan kepala. “Lumayan, habis ini lewat jalan tol, terus udah masuk Gresik. Kenapa?”

“Macet kapan selesainya, Ustazah? Lama banget gak nyampek-nyampek,” keluh Shanum.

“Sabar kali, Num. Pak supir yang di depan, capek nyetir di tengah kemacetan aja gak ngeluh,” sahut Nayla ketus.

Ustazah Maftuhah terkekeh. “Nah, itu dengerin omongannya Nayl.”

“Ustazah, liburan pesantren jadi dua bulan lagi, ya? Gak diundur, kan?” Kali ini Fitria, gadis yang sedari tadi sibuk dengan camilan di tangannya itu menatap Maftuhah.

“Iya, insyaa Allah. Kenapa?”

Fitria menggeleng sembari tersenyum. “Gakpapa, Ustazah. Mau ngabarin Ibu sama Bapak di rumah, suruh siap-siap jemput. Mumpung keluar pesantren, bisa mampir wartel lama. Bisa ngobrol sepuasnya sama Ibu-Bapak. Kalau di pesantren kan ngantrinya panjang. Ngobrol aja dibatesin lima menit doang, suruh gantian.”

Lagi-lagi ini adalah salah satu anugerah keluar dari pesantren. Para santri dapat menghubungi orang-orang yang mereka sayangi sepuasnya, tanpa batasan seperti aturan yang diterapkan oleh wartel koperasi pesantren.

Maftuhah terkekeh. “Iya, kita keluar pesantren tiga hari loh, bisa buat telpon keluarga sepuasnya.”

“Eh, iya ya kita udah mau liburan. Ntar kita juga ke wartel ya, Nayl, ngabarin mama,” ajak Shanum. Nayla hanya mengangguk menanggapi ajakan sahabatnya.

Bagi orang-orang yang tak tinggal di pesantren, waktu dua bulan terhitung masih lama. Namun, bagi para santri, dua bulan terhitung sebentar. Mereka bahkan telah menghitung jadwal kepulangan sejak H-90 atau tiga bulan sebelumnya. Sibuk membuat kertas-kertas kecil bertuliskan hitungan mundur 90-1 hari, kemudian menempelkannya di depan pintu kamar dan merobek kertas itu satu lembar setiap harinya.

“Shanum sama Lala saudaraan? Kok telpon mamanya barengan?”

Nayla memutar bola mata malas mendengar suara itu. Suara lelaki yang membuatnya hampir saja membatalkan perjalanan hari ini. Beruntung Ustazah Musyarofah berhasil membujuknya dengan berbagai tawaran menggiurkan. Ustazah Musyarofah mengatakan jika dalam acara tiga hari ini, ia akan bertemu dengan beberapa penulis idolanya yang berasal dari berbagai kota. Bagaimana mungkin ia tak tertarik?

“Lebih dari saudara, Ustaz. Saya sama Nayla itu udah gak bisa dipisahkan dari lahir. Satu kesatuan.” Shanum menjawab pertanyaan Nadhif dengan semangat.

“Oh, rumahnya di mana?” Nadhif yang duduk di kursi baris kedua bersama para ustaz menoleh ke belakang, menatap Shanum yang duduk di baris ketiga.

“Gak dibawa lah, keong kali bawa rumah ke mana-mana,” celetuk Nayla lirih. Ia mengira hanya Shanum dan Maftuhah yang mendengar suaranya. Namun, ternyata Nadhif juga mendengar. Lelaki itu sontak terbahak, membuat wajah putihnya memerah.

“Selera humor kamu bagus juga, La,” ucapnya di sela tawa.

Nayla menoleh sejenak dan menatap tajam Nadhif, “Saya gak lagi ngelucu!”

“Lihat, Shanum dan Ustazah Maftuhah juga tertawa. Itu artinya kamu lucu, Lala.” Nadhif masih tertawa. Nayla mendengkus kesal, kemudian kembali menghadap ke jendela.

“Jadi, rumah kalian di mana, Shanum?” Nadhif mengulang pertanyaannya.

“Di Pekalongan, Jawa Tengah, Ustaz,” jawab Shanum.

Nadhif terbelalak semringah. “Eh, Pekalongan? Berarti kita tetangga kota. Saya asli Pemalang.”

“Loh, beneran? Jadi Ustaz Nadhif orang Jawa Tengah? Waaahhhh,” pekik Shanum riang. Nadhif mengangguk sembari tertawa.

“Eh, setiap liburan biasanya santri yang asli Jawa Tengah ngadain kumpul bareng, Ustaz. Kita ngaji bareng habis itu ngobrol-ngobrol santai. Sekalian halal bi halal sih, kan kita liburan pas lebaran. Ustaz bisa ikut gabung, tuh,” lanjut Shanum.

“Tapi saya orang baru di pesantren. Tetap boleh ikut gabung?” tanya Nadhif.

“Aduuhh, boleh lah, Ustaz. Pokoknya semua orang yang ada di Tarbiyatul Ilmi dan asli Jawa Tengah boleh ikut, bahkan yang udah jadi alumni. Nanti kalau udah liburan, saya kabarin lagi. Soalnya kota yang buat kumpul juga belum pasti, padahal udah tinggal dua bulan lagi ini,” jelas Shanum.

“Oh, jadi kotanya pindah-pindah?”

Shanum mengangguk. “Iya, Ustaz. Tahun kemarin di Kendal, tahun ini belum pasti. Kemarin sih wacananya di Batang. Gak tau nanti jadinya di mana.”

“Nanti kabarin aja, ya. Kalau saya lagi gak ada acara lain, insyaa Allah ikut gabung.”

“Kamu juga ikut acara itu, Nayl?” Fitria yang sejak tadi hanya menyimak membuka suara sembari menatap Nayla yang kini tengah menoleh. Sejak awal, suasana mobil memang hanya didominasi oleh suara Shanum, Nadhif, dan beberapa kali Maftuhah yang ikut menimpali.

“Ikut lah, kan aku orang Jawa Tengah juga,” jawab Nayla.

“Wah, saya kira kamu tipe orang yang tak peduli pada perkumpulan-perkumpulan semacam itu, La,” celetuk Nadhif.

“Saya tidak se-apatis itu,” sahut Nayla tanpa menoleh. Ia risih dengan panggilan Lala yang digunakan oleh lelaki itu. Tapi, memprotes pun rasanya percuma. Ustaz yang memiliki banyak fans di pondok putri itu tetap saja tak merubah panggilannya.

“Saya tidak menyangka ada orang Jawa Tengah yang se-judes kamu, La. Jawa Tengah biasa terkenal dengan gadis-gadisnya yang lemah lembut,” goda Nadhif. Entah mengapa ia senang sekali memancing kekesalan Nayla. Semakin kesal gadis itu, semakin menyenangkan baginya.

“Ustaz punya hak apa untuk mengomentari sikap saya?” Dan, benar! Nayla selalu mudah naik pitam dengan ucapan Nadhif.

“Oh, maaf jika kamu tersinggung,” sahut Nadhif tanpa rasa bersalah.

“Apa pun yang Ustaz katakan dan ada sangkut-pautnya dengan saya akan selalu membuat saya tersinggung. Jadi, jangan pernah berbicara dengan saya!”

Nayla mengembuskan napas pelan. Ia memang terkenal galak, sering berkata sarkas, tegas, dan tak suka bertele-tele. Namun, ia paham bagaimana harus bersikap pada guru. Tapi pada Nadhif, entah mengapa ia tak pernah minat untuk bersikap sopan. Di matanya, lelaki itu terlihat begitu menyebalkan. Dan, untuk tiga hari ke depan, ia harus bertemu dengan makhluk mengesalkan itu setiap hari. Sanggupkah?

*****

Jadi, yang santri di sini mana? Angkat tangan coba. Ada yang suka ngitungin H-berapa liburan juga, gak? Dulu Naya pas masih mondok hobi banget ngitungin gitu, haha.

Btw, "Nayl, anakku sayang. Jangan galak-galak dong. Kamu cantik, tapi bakal lebih cantik lagi kalo gak galak. Sini Mamak sun dulu 😘."

Jangan lupa!
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 😘.

Labirin Cinta NaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang