Hari Ketiga

1.8K 233 10
                                    

Enam tahun yang lalu

“Sebelum acara puncak benar-benar ditutup, kami akan memberikan sebuah kejutan. Jadi, selama dua hari ini, kami mendata anak-anak yang terlihat paling aktif dan memiliki hasil perlatihan paling baik dalam workshop. Dari sekian ratus peserta workshop dua hari ini, kami akan mengambil dua anak dari masing-masing bidang untuk mendapatkan bingkisan dari kami.”

Nayla, Shanum, Fitria, dan beberapa anak perwakilan dari pesantren mereka saling pandang. Ini acara puncak sekaligus penutup. Sejak awal, tak pernah ada pemberitahuan ini. Benar kata pembawa acara di depan sana, ini benar-benar kejutan.

“Baiklah, nama-nama yang saya panggil berikut ini diharap naik ke atas panggung untuk mengambil bingkisan dan foto bersama. Pertama, untuk workshop eksakta, siswa atas nama Toriq Hasbi dari SMK Tunas Harapan, Malang, dan Ratih Fatma dari MA Al-Hasan, Banyuwangi.”

Gedung seketika dipenuhi oleh suara tepuk tangan usai pembawa acara menyebut dua nama dari seminar eksakta. Nayla menatap Shanum, gadis itu cemberut.

“Kenapa muka kamu?”

“Curang ih panitianya. Gak ngasih kabar kalau bakal ada penilaian macam ini. Aku jadi gak begitu aktif kemarin. Aku kira ya ini cuma seminar biasa. Kalau tahu ada ginian kan aku bisa aktif,” dengkus Shanum. Jiwa kompetitifnya terluka. Namanya selalu dipanggil sebagai pemenang ketika ada perlombaan. Dan kini, hanya untuk acara seminar, namanya tak ada di daftar siswa yang terpanggil.

“Namanya juga kabar kejutan, Num, ya jelas gak ada pengumuman dari awal lah. Makanya, kalau mau ngelakuin apa-apa itu dibiasain ikhlas. Biar gak pamrih, gak ngeharap balesan apa pun,” sahut Nayla.

“Selanjutnya untuk workshop kebahasaan. Siswa atas nama Ikhsan Fahri dari MA Mambaul Ulum, Kediri, dan Fahmi Ismail dari MA Tarbiyatul Ilmi, Surabaya.”

Lagi-lagi, suara tepuk tangan terdengar membahana. Fahmi Ismail, salah satu perwakilan dari pesantren Nayla terpilih. Beberapa ustaz terlihat menyalami lelaki itu sebelum ia maju untuk mengambil bingkisan. Shanum yang melihat itu semakin mengerucutkan bibir.

“Tuh, Nayl, Gus Fais aja dapet, masak aku enggak? Sebel ih.”

Nayla memutar bola mata, “Bersyukur kenapa, sih? Kamu jadi pilihan buat berangkat ke sini itu udah berkah. Santri-santri lain pengen ada di posisi kamu. Susah amat disuruh ikhlas sama syukur.”

“Terakhir, dari workshop kepenulisan. Atas nama Lailatun Mufidah dari MA Islamiyah, Jember, dan Nayla Kanaya Rohim dari MA Tarbiyatul Ilmi, Surabaya.”

“Eh?” Nayla menatap panggung dengan raut terkejut. Ia memang rajin bertanya selama workshop kemarin. Namun, ia tak menyangka jika akan terpilih.

“Nah kan, kamu juga kepilih, Nayl. Ish, gak setia kawan kamu!” sungut Shanum.

“Ya mana tahu, Num. Kan, aku juga gak ngajuin diri,” sahut Nayla gemas. Sahabatnya yang satu itu benar-benar aneh.

“Sudah sudah. Barakallah, Nayla, sana maju.” Maftuhah menengahi perdebatan kedua anak didiknya.

Nayla mengangguk kemudian berdiri, “Syukran, Ustazah.”

“Aku maju dulu, gak usah cemberut gitu. Ntar bingkisannya kita bagi dua.” Nayla mencubit pelan pipi Shanum.

“Gakpapa, Shanum. Kamu sudah sering jadi pemenang. Sekali-kali kalah bukan masalah. Lagipula, ini bukan olimpiade yang besar. Nayla juga sudah janji mau bagi dua bingkisannya, kan?” hibur Maftuhah.

“Bukan masalah bingkisannya, Ustazah. Lagian, Nayla juga udah sering jadi pemenang, tapi sekarang menang lagi. Yang bukan olimpiade besar gini aja aku gak kepilih, malu-maluin banget,” ucap Shanum kecewa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 04, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Labirin Cinta NaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang